Rumi Haitani

inupiei

written by inupiei


Bulgaria, 10 Tahun yang lalu.

Mobil Lexus berwarna hitam kian memotong jalan di sekitar jalan pusat kota Sofia ㅡyang menjadikan kota ini sebagai sisa-sisa kuno Benteng Serdica dan Gereja Romawiㅡ dipadati oleh penduduk maupun turis yang menikmati simbol dari negara Soviet. Mobil itu kian menambah kecepatan dengan menyalip pada lawan di depannya. Semua pejalan kaki menepi, sudah tau bahwa mobil hitam itu sedang menjauh dari lawannya yang tengah mengejar dari belakang, seperti enggan untuk membiarkan mobil itu kabur dari pandangannya.

“Gass!!”

Teriak lelaki bersurai pirang yang tengah melihat lawannya dari belakang, ia duduk di samping pengemudi dengan tangan kiri menggenggam pistol.

Lelaki yang disoraki sontak menajamkan pandangannya.

“Kanan!! Biar mereka bisa ngikutin!”

Tambah pria yang saat ini mentap lurus ke depan, mencari jalan pintas menjauhi kerumunan publik.

“Bos! Sesuai rencana!” Ujar si pengemudi mengencangkan earphone yang bertengger di telinga kanannya. Ia kembali menambah kecepatan setelah berhasil memancing pengejar ㅡ Bonten ㅡ ke jalan gang sempit untuk mengikuti mereka sejak memasuki pusat kota.

“Hahaha! Makan tuh, Bonten!” Ujar laki-laki pirang tadi ㅡ Chifuyu, dirinya mulai memperbaiki posisi menghadap lurus ke depan.

“Sesuai rencana!” Sambung Takemichi yang duduk di belakang kemudi. Ia memperbaiki stelan bajunya yang sedikit kusut.

Kazutora terkekeh, ia kembali memfokuskan kemudi pada jalan pintas yang telah mereka rencanakan.

Chifuyu meletakkan kembali pistolnya, “Gimana, Bos? Aman disana?” ujarnya menurunkan sandaran kursi.

“Bos?” Ujar Chifuyu saat dirinya tidak mendapat respon dari telfon yang tersambung.

“Senju!?” Chifuyu menekan kalimatnya.

“Mereka memakan umpan dan Bonten tidak sebodoh itu!” Balas Senju pada telfon dengan napas yang tidak teratur.

Sontak tiga orang di dalam mobil itu melihat kebelakang.

“Anjing! Mana mangsa lo tadi, Puy?!” Umpat Kazutora dengan spontan langsung menepi.

Chifuyu tertawa, “Kita dong yang dibodohin?”

“Tai!” Sambung Kazutora memutar stir.

Takemichi menunjuk depan, “Mundur, Kajut! Anjir sejak kapan itu Pajero di depan kita!”

Kazutora memasukkan gigi mundur dan menancap gas dengan kuat, sesekali netranya menatap kebelakang dan ke arah lawan yang saat ini tidak segan untuk menabrak dari depan dengan kecepatan penuh.

“Jangan sampai dapat!” Teriak Senju dengan napas tersenggal, koneksi mulai memburuk hingga mereka bertiga tidak bisa mendengar dengan jelas.

“Baji Keisuke, orang gila memang!” Ujar Chifuyu saat menyadari lawan yang saat ini mengejar mereka.

Kazutora kian berusaha mencapai jalan raya untuk bisa bebas dari buruan mangsanya.

“Rasanya gak sejauh ini deh tadi?” ujar Takemichi memperhatikan jalan.

“Pant!” Umpatan Chifuyu tertahan saat lelaki bertato naga di kepalanya muncul dari jendela mobil lawan mereka dan mengarahkan senapan ke ban mobil.

“Pantek!” Kazutora menyambung umpatan Chifuyu saat bidikan lelaki bertato naga itu mengenai ban kiri mereka.

“Bos! Sorry, kami akan susul segera!” Ujar Takemichi mematikan sambungan selulurnya dan menginjak dengan sekuat tenaga hingga ponsel tersebut menjadi berkeping.

Rupanya satu senapan belum cukup memuaskan lawan mereka. Dengan kecepatan penuh, pajero putih itu sukses menghantam lexus hitam mereka hingga tergiring ke jalan raya.

Dengan kesadaran yang dimiliki, Chifuyu sempat melihat Baji tertawa puas dan lelaki di sebelahnya menggeleng pasrah.

“Mikey! Kita dapat 3 kacung, mau diapain?” Ujar Baji saat ia mengambil langkah memeriksa korbannya.

Lelaki itu berdesis. “Padahal dikit lagi mati.”

“Gimana?” Tanya pria yang tadi mengarahkan senapannya ㅡ Draken.

“Biarin mereka. Kita nyusul yang lain, Haitani menemukannya.” Ujar Baji dengan senyum mengambang.

written by inupiei


Bugatti bolide milik Mikey melaju begitu kencang membelah jalan. Pikirannya kacau, wajahnya memerah, gerahamnya mengeras, tatapannya begitu tajam hingga bisa saja menembus apapun. Demi tuhan, Mikey bisa saja menabrak sejumlah orang dan melindasnya jika pedal gas kian bertambah ia pijaki.

Tidak memakan waktu lama, ia mulai memasuki area Manji Utara ㅡ jarak yang cukup jauh dari lokasinya. Mikey tidak pernah lupa akan tempat ini, sekalipun tidak pernah bahwa 2 tahun lamanya ia memijaki kota ini ㅡ kota yang mengawali semuanya dan mengakhiri semuanya.

Mobil mewah miliknya memasuki sebuah kediaman semi outdoor dengan hiasan taman bunga yang begitu mekar. Ia seperti ditarik kembali ke masa lalu, bahwa tempat ini sama sekali tidak berubah. Danau disisi kanan rumah ini, membuat Mikey benar-benar tidak kuat berlama-lama. Kilas balik kenangan, hanya menambah luka.

Mikey bergegas keluar dari mobil dan hendak menerobos masuk ㅡmencari sosok perempuan yang sukses membuat harinya akhir-akhir ini begitu kalutㅡ tapi, dua lelaki paruh baya telah siap menahannya.

“Dimana Senju?” Pertanyaan penuh penekanan darinya sukses membuat salah satu dari mereka mendesis.

“Pulang lah, bocah Sano.” Ujar pria bersurai dwiwarna yang tengah fokus mengisap lolipop.

Tampaknya Mikey tidak membutuhkan jawaban itu, dengan spontan kakinya langsung melayang di udara ㅡ berhasil menumbangkan pria tadi.

“Kau!!”

Mikey sudah hafal akan taktik seperti ini. Amarahnya sudah memuncak, siapapun tidak akan bisa menahannya kali ini.

Kedua pria itu tumbang. Napas Mikey berderu kencang, ia segera melangkah masuk. Demi tuhan, Mikey begitu benci tempat ini.

“Waka! Ada ap-”

Sontak Mikey menggenggam leher Senju ㅡyang baru saja melihat kegaduhanㅡ dengan kuat, membuat perempuan bersurai perak itu terhempas ke dinding. Pot bunga di genggamannya terjatuh, ia berusaha melepaskan cekikan Mikey. Senju terkejut bukan main, wajahnya memerah saat tenaga yang ia punya tidak seimbang dengan milik Mikey.

“Lo pikir dengan membeberkan semuanya kepada Emma, akan memperbaiki keadaan?” Ujar Mikey dengan lantang tepat di depan wajah Senju. Ia tidak peduli, Senju mulai kesusahan bernapas.

“Dengan semua itu, Takeomi bisa hidup kembali? Baji, Draken dan Shinichiro akan hidup kembali??” Mikey sudah tidak waras, ia sama sekali tidak mengendorkan cengkeramannya pada leher Senju.

“Lo berhasil memisahkan adik dengan kakaknya!” Mikey melepaskan cengkeramannya, napasnya memburu. Akal sehatnya bekerja saat Senju tidak lagi memberontak.

Senju lega bukan main saat tenggorokannya mulai menerima udara dengan baik. Butuh waktu beberapa menit baginya untuk menetralkan kembali pernapasan yang berhasil ditahan Mikey. Sudut matanya berair akibat batuk yang kian bertubi-tubi.

“Lo terluka, hah?!” Suara Senju sedikit serak, tapi indera pendengaran Mikey masih bisa menangkapnya. “Menurut lo cuma lo doang yang terluka?” Ia menghampiri Mikey yang masih mencoba mengatur napas.

“Menurut lo gimana perasaan gue saat lo dan Bonten mengkhianati kami? Saat lo menembak Takeomi?! Kenapa lo lakuin itu?!!” Napas Senju begitu tersenggal saat ia berhasil berteriak di depan wajah Mikey.

“Gue gak pernah menembak Takeomi!”

“Lo bohong!” Senju mencengkeram kerah baju Mikey dengan kuat tapi nihil, pria itu balik mencengkeram lehernya kembali.

“Itu kebenarannya! Gue bersumpah dengan nama Emma kalau gue gak pernah menembak Takeomi! Lihatlah kebenarannya di mata gue, Senju! Lihat!” Cengkeraman Mikey tidak sekuat tadi, tapi cukup membuat Senju kewalahan.

Manik hijau milik Senju menatap lama manik gelap di depannya, mencari kebenaran dari semua dendam yang ia simpan.

“Lo sudah dikhianati, Senju.” Cengkeraman tangan Mikey beralih pada kedua bahu Senju. “Sama seperti kami. Kita semua dikhianati.”

Senju bisa merasakan hembusan napas Mikey mengenai wajahnya, mereka berdua sama-sama diselimuti emosi.

Dua kali Senju memahami lontaran kalimat-kalimat Mikey, tapi dengan dendam yang sudah membesar membuatnya mencoba untuk menyaring semua itu.

“Ini!” Mikey melepaskannya sambil mengeluarkan senjata api Desert Eagle dari kantong belakang. “Bunuh gue! Gue gak perlu hidup lagi.” Mikey meletakkan pistol di tangan Senju dan mengarahkan tepat ke jantungnya.

Sontak Senju terkejut. Ia tidak pernah mengharapkan reaksi seperti ini dari sosok Manjiro.

“Tembak, Senju! Tembak!”

Senju ternganga, ia tidak tau harus bertindak seperti apa. Benar, bahwa ia ingin Mikey menderita ㅡkarena telah menembak mati saudaranyaㅡ tapi, bukan ini yang ia inginkan.

“Gue sangat dekat, Senju. Ayo tembak! Lakukan seperti yang pernah lo lakuin malam itu, ke gue.”

Tatapan Senju melunak, ia tidak berani menarik pelatuk. Lebih tepatnya menarik pelatuk kedua kali ke arah Mikey. Sudut matanya basah, kilas balik malam itu kembali memenuhi pikirannya.

Mikey menjauh saat Senju kian tidak menanggapinya. Merasa semuanya telah selesai, ia kembali menaiki Bugatti bolide dan melanjutkan mencari keberadaan sang adik.

Dengan langkah tertatih, Senju menatap kepergian Mikey dengan pikiran campur aduk.

“Apa itu benar?” Tanya Senju saat menyadari dua bodyguard nya telah sadar dan mendengar percakapan mereka sedari tadi.

“Rencana Takeomi adalah untuk menghabiskan Bonten malam itu.” Benkei menjelaskannya tanpa menutupi kebohongan.

“Maaf. Gue ikut andil memanfaatkan lu malam itu, Senju.” Tambah Wakasa.

Senju mengginggit bibir bawahnya hingga cairan kental mulai memenuhi bibir dalamnya.

“Aku salah, Manjiro.” Gumam Senju menghapus pelan sudut matanya.

written by inupiei


Hujan yang menyapu Kota Manji dari semalam sudah reda saat matahari mulai sejajar dengan puncak kepala. Angin bulan oktober masih berhembus seperti biasa hingga menusuk ke kulitnya, Mikey. Pria itu tengah berjongkok menyemir ban mobil salah satu pelanggan yang mengantar mobil pekan lalu. Bengkel begitu sepi setelah karyawannya menjalankan tugas dan Kakucho berpamitan mengantar Emma ke butik.

Mikey segera bangkit saat telinganya menangkap satu mobil yang baru saja memasuki pekarangan. Sebenarnya, mobil pelanggan bebas keluar masuk dikarenakan halaman bengkel dan rumahnya menyatu. Gerbang utama hanya akan dibuka saat bengkel pun juga dibuka, apa Kakucho lupa menutupnya?

“Hi! Mau ngisi Air Radiator.” Sapa pria bersurai merah muda dengan lambaian tangannya.

Mikey melangkah pergi, “Bengkel tutup!” Ujarnya penuh penekanan.

“Lu kan ada, Mikey?”

“Gue ga niat basa-basi lu, jahuin Emma.” Mikey menyambar tisu, hidungnya benar-benar bermasalah setelah berguyur di bawah hujan.

Terdengar deru nafas kecewa, pria itu Haruchiyo. Ia mengikuti Mikey memasuki bengkel yang tidak terbuka sempurna. Haru mulai memikirkan beberapa kalimat yang seharusnya bisa membuat Mikey merubah keputusannya.

“Gue tau kita seumuran.” Ujar Haru masih berusaha untuk membuka obrolan, yang ia dapati hanya suara ingus Mikey. “Tentu kita seumuran, lo lupa?” Balas Mikey.

Haruchiyo dibuat bingung, “Kita kenal?” tanyanya.

“10 tahun lalu, gue sering menemani Senju ke rumah pulih.” Mikey bersandar pada salah satu kap mobil.

Kening Haruchiyo berkerut, “Lo kenal Senju?”

Suara bersin Mikey terdengar berkali-kali sebelum ia kembali menjawab pertanyaan Haru.

“Hah?” Balas Mikey diiringi dengan tawa kecil. “Nice to meet you again, old friend. Gue sempat lupa dengan wajah lo tapi untung deh lo datang sama Senju. Jadi, jauhi Emma, Akashi.” Ia melangkah pergi meninggalkan Haruchiyo yang mematung mendengar setiap jawabannya.

written by inupiei


Mikey mengendarai CB250T dengan kecepatan normal di sepanjang jalan yang hampir tidak satupun dilewati oleh kendaraan pada jam dua dini hari. Lelaki itu tidak mempermasalahkannya, padahal langit sudah mulai menurunkan titik-titik air hujan yang semakin lama semakin deras.

Entah apa yang dipikirkan pria itu saat memilih kembali ke rumah, padahal ramalan cuaca mulai memburuk. Apa karena album foto yang dibicarakan Kakucho? Atau karena pertemuan yang tidak ia duga beberapa jam yang lalu? Entahlah, sepertinya hal-hal itu benar-benar mengusik pikirannya.

Ia berencana untuk mengunjungi Jean ㅡ si informan Bonten dahulu ㅡ di sebuah bar di pusat kota yang pria itu naungi sekarang. Tampaknya, tidak jadi saat Mikey memutuskan untuk pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Hujan mulai mengguyur jalanan beraspal itu serta membasahi motor dan helm yang masih melekat di kepalanya ㅡ Mikey mengehela nafas kasar. Sebetulnya, sejak pertemuan dengan calon Emma, dirinya tak henti menghela nafas begitu kasar.

Mikey menepi, berteduh di sebuah pohon. Ia membuka helm dan mengacak-acak surai pirangnya yang dibiarkan tergerai bebas. Hembusan nafasnya mengeluarkan uap, sepertinya cuaca kali ini akan menurun drastis mengingat kondisi iklim yang mulai berganti akibat hembusan angin muson barat.

Manik gelap itu tertunduk, menatap cukup lama pada goresan kasar dan lecet di sisi kiri body motornya ㅡ begitu jelas walaupun telah ia amplas beberapa tahun ini untuk menghilangkannya. Pikiran Mikey dibuat kembali pada 1 dekade saat ia berumur 23 tahun. Tahun pertama rencana penghianatannya pada Senju Akashi.

Pria itu tertegun saat bunyi klakson dua kali mengejutkan indera pendengarnya. Maniknya berputar, mencari arah sumber suara tersebut. Nihil, tidak ada.

Hujan semakin deras, ia memilih menjalankan CB250T dan mencari arah sumber suara yang kali ini mulai terdengar bunyi dinamo starter yang dipaksakan. Kilauan lampu hazard dari arah yang berlawanan menangkap indera penglihatannya, mobil itu berhenti di tengah jalan dengan kap yang masih terbuka. Sepertinya pemilik mobil sedang berusaha menstarter kembali.

Mikey menepikan motornya sembari bergegas membuka helm, ia membiarkan seluruh tubuhnya basah.

“Akhirnya ada orang yang lewat. Hei! Sebentar, saya punya payung!” ujar si pemilik mobil tergesa-gesa mencari payung yang ia maksud.

Mikey terdiam. Ia ingin segera menghampiri mobil yang mati total di tengah jalan itu, tapi suara yang barusaja menawarinya payung sangat ia kenali ㅡ walaupun saat ini suara hujan kian mencampuri gendang telinganya, ia berani bersumpah bahwa dugaannya benar.

Ia tak salah. Saat langkah kakinya mulai mendekat, si pemilik mobil turun dengan payung yang barusaja ia temukan.

Senju. Si pemilik mobil mogok di tengah jalan pada pukul dua dini hari adalah Senju Kawaragi. Perempuan yang tujuh jam lalu sempat ia temui di pertemuan rencana pertunangan adik kecilnya.

Manik keduanya bertemu, mematung dan membiarkan rintik hujan mengguyur tubuh mereka.

Rindu?

Mungkin kalimat itu kalah dengan dendam yang telah mereka tanam 8 tahun ini.

Mikey membuang muka dan segera melangkah menuju kap mobil. Senju mengurungkan niatnya untuk membuka payung, ia bergegas kembali memasuki mobil. Gerahamnya mengeras, bagaimana bisa ia tidak menyadari CB250T milik Mikey? Ia bersumpah untuk tidak kembali mengendarai mobilnya di jalan ini.

Butuh beberapa menit bagi Mikey memperbaiki selang yang terhubung pada karburator mobil. Dirinya segera menutup kap dan sesekali mengusap mata yang kian mengabur akibat hujan yang masih sama derasnya. Ia mendekati jendela mobil dimana Senju dengan sengaja tidak mengalihkan pandangan pada sosok Mikey yang telah berdiri di sampingnya.

“Sudah.”

Suara pria itu berhasil membuat Senju bergeming dan mulai menstarter mobil. Perempuan itu mulai menaikkan pedal gas perlahan sebelum meluncur pergi tanpa sepatah kata.

Sudut kanan bibir Mikey terangkat ㅡ sedikit dipaksakan ㅡ sambil memegang bekas luka tembakan di rusuk kanannya.

“Apa kau juga sama kalutnya dengan aku? Senju?” Gumam Mikey memandangi cahaya lampu mobil yang mulai menghilang dari pandangannya.

written by inupiei


Mikey mengendarai CB250T dengan kecepatan normal di sepanjang jalan yang hampir tidak satupun dilewati oleh kendaraan pada jam dua dini hari. Lelaki itu tidak mempermasalahkannya, padahal langit sudah mulai menurunkan titik-titik air hujan yang semakin lama semakin deras.

Entah apa yang dipikirkan pria itu saat memilih kembali ke rumah, padahal ramalan cuaca mulai memburuk. Apa karena album foto yang dibicarakan Kakucho? Atau karena pertemuan yang tidak ia duga beberapa jam yang lalu? Entahlah, sepertinya hal-hal itu benar-benar mengusik pikirannya.

Ia berencana untuk mengunjungi Jean ㅡ si informan Bonten dahulu ㅡ di sebuah bar di pusat kota yang pria itu naungi sekarang. Tampaknya, tidak jadi saat Mikey memutuskan untuk pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Hujan mulai mengguyur jalanan beraspal itu serta membasahi motor dan helm yang masih melekat di kepalanya ㅡ Mikey mengehela nafas kasar. Sebetulnya, sejak pertemuan dengan calon Emma, dirinya tak henti-henti menghela nafas begitu kasar.

Mikey menepi, berteduh di sebuah pohon. Ia membuka helm dan mengacak-acak surai pirangnya yang dibiarkan tergerai bebas. Nafasnya sedikit beruap, sepertinya cuaca kali ini akan menurun drastis mengingat kondisi iklim yang mulai berganti akibat hembusan angin muson barat.

Manik gelap itu tertunduk, menatap cukup lama pada goresan kasar dan lecet di sisi kiri body motornya ㅡ begitu jelas walaupun telah ia amplas beberapa tahun ini untuk menghilangkannya. Pikiran Mikey dibuat kembali pada 1 dekade saat ia berumur 23 tahun. Tahun pertama rencana penghianatannya pada Senju Akashi.

Pria itu tertegun saat bunyi klakson dua kali mengejutkan indera pendengarnya. Maniknya berputar, mencari arah sumber suara tersebut. Nihil, tidak ada.

Hujan semakin deras, ia memilih menjalankan CB250T dan mencari arah sumber suara yang kali ini mulai terdengar bunyi dinamo starter yang dipaksakan. Kilauan lampu hazard dari arah yang berlawanan menangkap indera penglihatannya, mobil itu berhenti di tengah jalan dengan kap yang masih terbuka. Sepertinya pemilik mobil sedang berusaha menstarter kembali.

Mikey menepikan motornya sembari bergegas membuka helm, ia membiarkan seluruh tubuhnya basah.

“Akhirnya ada orang yang lewat. Hei! Sebentar, saya punya payung!” ujar si pemilik mobil tergesa-gesa mencari payung yang ia maksud.

Mikey terdiam. Ia ingin segera menghampiri mobil yang mati total di tengah jalan itu, tapi suara yang barusaja menawarinya payung sangat ia kenali ㅡ walaupun saat ini suara hujan kian mencampuri gendang telinganya, ia berani bersumpah bahwa dugaannya benar.

Ia tak salah. Saat langkah kakinya mulai mendekat, si pemilik mobil turun dengan payung yang barusaja ia temukan.

Senju. Si pemilik mobil mogok di tengah jalan pada pukul dua dini hari adalah Senju Kawaragi. Perempuan yang tujuh jam lalu sempat ia temui di pertemuan rencana pertunangan adik kecilnya.

Manik keduanya bertemu, mematung dan membiarkan rintik hujan mengguyur tubuh mereka.

Rindu?

Mungkin kalimat itu kalah dengan dendam yang telah mereka tanam 8 tahun ini.

Mikey membuang muka dan segera melangkah menuju kap mobil. Senju mengurungkan niatnya untuk membuka payung, ia bergegas kembali memasuki mobil. Gerahamnya mengeras, bagaimana bisa ia tidak menyadari CB250T milik Mikey? Ia bersumpah untuk tidak kembali mengendarai mobilnya di jalan ini.

Butuh beberapa menit bagi Mikey memperbaiki selang yang terhubung pada karburator mobil. Dirinya segera menutup kap dan sesekali mengusap mata yang kian mengabur akibat hujan yang masih sama derasnya. Ia mendekati jendela dimana Senju dengan sengaja tidak mengalihkan pandangan pada sosok Mikey yang telah berdiri di sampingnya.

“Sudah.”

Suara pria itu berhasil membuat Senju bergeming dan mulai menstarter mobil. Perempuan itu mulai menaikkan pedal gas perlahan sebelum meluncur pergi tanpa sepatah kata.

Sudut kanan bibir Mikey terangkat ㅡ sedikit dipaksakan ㅡ sambil memegang bekas luka tembakan di rusuk kanannya.

“Apa kau juga sama kalutnya dengan aku? Senju?” Gumam Mikey memandangi cahaya lampu mobil yang mulai menghilang dari pandangannya.

written by inupiei


Tiga pasang remaja tengah duduk berjajaran di atas pasir. Mereka diam menatap lurus ke depan, menikmati pemandangan Pasumpahan Island di sore hari yang sangat sayang untuk dilewatkan. Mengingat mereka berenam sampai di tujuan pada jam 1 siang setelah UN hari terakhir selesai.

Bagaimana rencana ini bisa jalan? Usut punya usut, semuanya berjalan lancar karena Kazutora. Pria itu cukup memaksa dua temannya untuk ikut. Chifuyu menentang keras, mengatakan dengan jelas bahwa dia dan Senju sudah tidak ada apa-apa lagi pun Baji sempat menolak karena dia dan Emma sudah berakhir. Tapi, bukan Kazu namanya jika tidak keras kepala, kan?

Alhasil, dua temannya ikut dengan paksa. Yuzuha juga berhasil mengajak Senju yang benar-benar tidak ingin ketemu dengan lelaki yang sempat ia anjing kan itu. Mereka berenam berangkat bersama dengan mobil Chifuyu, kali ini Kazu bersikeras untuk mengendarai mobil Xpander milik pria itu, mengingat mobil Chifuyu yang biasa tidak akan cukup menampung mereka. Tentu dengan Kazu di bagian kemudi dan Yuzuha di sebelahnya. Bagian belakang ada Emma di tengah, lalu Baji dan Senju di sisinya. Chifuyu satu-satunya tersisih di belakang. Entahlah, kemauan pria itu sendiri.

Lima jam telah berlalu sejak mereka sampai di tujuan. Sekarang mereka sedang berselonjor ria duduk tanpa alas di atas pasir. Sejak datang, Yuzuha dan Emma mulai mempersiapkan bekal siang untuk mereka. Senju yang duduk diam dan enggan untuk berbicara serta tiga sekawan yang tengah mencari jasa sewa jet ski dan banana boat. Mereka benar-benar menghabiskan waktu siang dengan puas setelah pertempuran empat hari di depan kertas Ujian Nasional.

“Apa yang bakal lo lakuin kalau gak bisa main bola lagi, Puy?” Ujar Yuzuha melirik Chifuyu di paling ujung. Dirinya dan Kazu duduk bersebalahan dan diikuti oleh Baji di sebelah Kazu, lalu Emma, Senju dan Chifuyu.

Yang ditanya tertawa, tampaknya suasana hati Chifuyu sudah membaik. Apakah karena ia satu jet ski dengan Senju? Mengingat kaki pria itu masih belum pulih ㅡ hingga Senju mengambil alih kemudi.

“Depresi mungkin?” Jawabnya enteng.

Yang lain tertawa, “Ga yakin, sekalipun sama tongkat tuh lu bakal turun lapangan gue rasa!” Sambung Kazu.

“Kata gue dia bakal pengobatan sekian triliun.” Tambah Baji.

“Buset.” Kekeh Emma merebahkan badannya pada lengan Baji.

Senju ikut tertawa, sesekali ia menatap manik biru di sebelahnya itu. Bukan hanya Chifuyu, suasana hati Senju ikut membaik. “Mending jadi pelatih, gak sih?” Ujar Senju memeluk lututnya.

“Wess.. mantep juga.” Balas Chifuyu.

Benar, tampaknya satu persatu dari mereka melupakan semua permasalahan yang pernah ada. Saat ini interaksi Baji dan Emma bisa dikatakan sangat normal bahkan melebihi biasanya, Kazu dan Yuzuha entah sejak kapan saling menggenggam tangan pun Chifuyu dan Senju saling melempar tawa.

“Kita langsung pulang, kan?” Tanya Emma masih bersandar di lengan Baji, tampaknya pria itu tidak mempermasalahkannya.

Kazutora mengangguk, “Iya, ga ada planning untuk nginap.” Pria itu mengerti, memilih untuk tidak menginap agar hal-hal yang tak diinginkan tidak terjadi. Mengingat, hubungan antar mereka tidak seperti dulu walaupun sekarang Kazu begitu ingin mendirikan tenda, tapi ia selalu mengingat akan rencana awal.

Biarlah manis sebentar, kenangannya akan menetap lebih lama.

Emma mulai berdiri membersihkan pakaiannya dari pasir dan membatu Baji untuk bangkit, begitu pula dengan Kazutora dan Yuzuha. Hanyasaja Chifuyu enggan menerima tawaran tangan Senju, yang berakhir ditarik paksa oleh gadis itu. Wah.. tampaknya, Senju yang manis dan santai sudah benar-benar pudar.

“Lapar gak?” Tanya Senju membatu Chifuyu berjalan ㅡ tongkat kruk milik pria itu di mobil. Chifuyu bersikukuh bahwa kakinya sudah bisa dibawa berjalan, nyatanya lelaki itu kesusahan sedari tadi.

Chifuyu tertawa, “Lumayan.” Ujarnya.

“Bebek sawah dulu, gak guys?” Sorak Senju.

Emma yang sudah duluan menuju kapal feri ㅡ yang sengaja Kazu pesan, mengingat pengunjung sedikit ramai untuk menyebrang ㅡ berbalik arah. “Pakaian kaya gini?” Ujar Emma memperlihatkan pakaian mereka yang lumayan basah dengan pasir-pasir pantai menempel di sana.

“Ayok!” Ujar Yuzuha menarik lengan Kazutora untuk bertengger di bahunya.

Satu persatu dari mereka mulai menaiki kapal. Lucu sekali saat Chifuyu begitu kesusahan memijaki kapal, badannya tidak seimbang. Lagi-lagi Senju menopang tubuh pria itu. Membuat siapapun di sana cukup tercengang.

Baji dan Kazu tertawa, mereka tertawa lebar saat beban pada Chifuyu diambil alih Senju. Senju benar-benar sekuat itu, Chifuyu sendiri melongo, tidak bisa berkata-kata.

“Pengen ayam betutu.” Gumam Baji membuyarkan suasana hening saat mereka hampir sampai di bibir pantai.

Langit mulai berubah warna, cahaya matahari mulai redup. Tapi, siapapun akan melihat jelas bahwa dua sejoli yang mengambil posisi paling belakang kapal, tengah berciuman. Larut dalam lumatan yang memabukkan hingga aktivitas mereka terhenti akibat kapal yang sedikit membentur ke daratan ㅡ mereka telah sampai di daratan.

Kazutora tertawa pelan, Yuzuha menunduk. Lelaki itu mengusap puncak kepala sang gadis sebelum mereka benar-benar turun dari kapal.

Emma terkekeh, gadis itu kian menahan tawa saat ia menyadari Baji memahami akan keadaan yang menimpa mereka. Benar, aktivitas Kazu dan Yuzuha tadi disadari oleh mereka.

“Ayam betutu..” Gumam Emma dibalas kekehan besar Baji. Mereka bersama berjalan menuju parkiran. Senju memilih posisi belakang mobil dengan Chifuyu. Emma dan Baji di tengah serta dua sejoli yang sedang kasmaran di bagian kemudi.

Langit mulai gelap. Warna kejinggaan terlukis di sana. Kazutora mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, hanyut dalam fikiran dengan tangan yang menggenggam erat milik gadis di sampingnya. Di bagian belakang begitu heboh, entah apa yang tengah dibahas oleh Baji dan Emma hingga tawa mereka masing-masing pecah. Senju ikut membaur dengan sejoli di depannya, membiarkan Chifuyu yang sesekali tertawa kecil mendengar pembahasan mereka yang tak tentu arah.

Hari itu. Mereka berenam, mengukir sebuah kenangan yang akan dikenang begitu manis untuk beberapa tahun kedepan. Entah akan kembali sama atau berubah menjadi asing.

Semoga saja, selalu tetap sama.

written by inupiei


Emma mendorong pelan pintu berwarna coklat tua yang berlapiskan kayu solid di kediaman Baji. Gadis itu tampak menenteng setengah lusin sweater dan jeket yang telah ia lipat rapi. Jalannya sedikit diperlambat ㅡ ia mengambil langkah menuju lantai atas, kamar sang pria yang tengah ia cari.

Gadis bersurai pirang itu sesekali memutar pandangannya, tak satupun penghuni rumah yang ia temui. Tapi, pintu tidak terkunci dan motor Baji terparkir tegak di pekarangan rumah.

“Baji..? Ibu..?” Gumam Emma saat kakinya menambah langkah pada tingkat tangga selanjutnya.

Tidak ada jawaban.

Sudut bibir Emma tertarik, gadis itu menangkap suara bising dari kamar pria yang tengah ia cari. Pantas saja suara itu terdengar jelas, pintunya sedikit terbuka.

Buru-buru Emma menghampiri pintu itu karena tentengannya yang kian merasa tidak seimbang. Gadis itu mendorong pelan pintu kamar Baji, berharap tidak mengganggu aktivitas sang tuan disana.

Di fikiran Emma, seorang Baji Keisuke akan menghabiskan waktu seperti biasanya ㅡ bermain PS yang sering dijadikan tempat ia dan tiga sekawannya berkumpul yang kadang berisikan umpatan dan celoteh mereka selama memainkannya. Tapi, kali ini dugaan Emma Sano salah. Koreksi, ia tidak salah. Layar TV memang menampilkan permainan lelaki itu yang sedang dijeda dengan tangan yang masih memegang stick. Baji menyadari kehadirannya, tapi ia semakin intim melanjutkan aktivitasnya saat ini.

Emma sempat terbelalak saat menyadari situasi di depannya ㅡ Baji yang tengah tersandar di bawah ranjang dengan seorang gadis yang mengalungkan kedua tangannya di leher sang pria, larut dalam ciuman yang sangat lekat. Emma yakin, gadis itu dalam posisi tidur dengan kepala bertumpu di paha Baji sebelumnya.

Emma kikuk, gadis itu dua kali lebih kikuk saat tatapannya dengan Baji bertemu. Tampaknya pria itu tidak berniat menghentikan aktivitasnya. Lelaki itu makin memperdalam ciumannya dengan membawa sang gadis ke atas paha. Tapi, tatapan pria itu kian lekat pada sosoknya yang terpatung di depan pintu. Emma tertegun, merasa tidak ingin mengganggu dan buru-buru menaruh tentengannya di sembarang tempat sebelum hal itu menghancurkan situasi yang ia lihat.

Gadis Sano itu melangkah pergi, dia masih mencerna pada aktivitas yang baru saja ia lihat.

Baji dan Reze? Sejak kapan? Batinnya.

Emma bisa mendengar dengan jelas langkah besar sedang menuju ke arahnya. Satu langkah lagi gadis itu menuju pintu ke luar, tapi satu tangan berhasil menahannya. Ia menemukan Baji dengan tatapan tak bisa ia artikan ㅡ sedang memegang pergelangan tangannya dengan kuat. Emma tidak tau kenapa pria ini tiba-tiba saja menahannya.

Pegangan Baji mulai melemah. Tatapan mereka kian lekat satu sama lain, seolah-olah Baji melemparkannya tatapan balas dendam yang berhasil pada sang gadis.

“Sorry, gue gak maksud ganggu lo.” Ujar Emma membuyarkan isi fikiran sang pria. “Gue ngantar sweater dan jeket punya lo. Sorry udah keep barang-barang lo selama itu di gue.” Emma mulai menepis genggaman Baji, tapi lelaki itu tampak enggan melepaskannya.

“Maksud lo?”

“Ha?” Emma benar-benar tidak mendengar ucapan Baji yang lebih tepatnya gumaman sang pria. Apakah lidah pria ini ikut tertinggal di atas sana hingga ucapannya benar-benar tidak keluar dengan sempurna di telinga Emma?

“Maksud lo apa?” Kali ini ucapan Baji terdengar jelas.

Emma mengernyit, “Ngantar barang-barang lo.”

“Hari itu.”

Emma berfikir dua kali arah ucapan Baji yang membuatnya tidak mengerti. Sekilas memori beberapa bulan yang lalu muncul di kepalanya, membuat ia mengerti hal tersebut menjadikan dirinya dan Baji makin berjarak. Atau lebih tepatnya, menjadi sangat asing.

“Gue minta maaf. Gue ga tau lo datang.” Emma menatap sekilas manik coklat yang sangat ini memancarkan tatapan tidak puas.

Baji terkekeh, “Di depan labor fisika.” Ia masih enggan melepaskan genggamannya pada sang gadis.

Emma terdiam, jantungnya berpacu dua kali melebihi biasa. Seketika memori yang Baji maksud, terekam kembali di benaknya. Lidahnya kelu, matanya menunduk menatap tangan yang lebih gelap darinya saat ini menggenggamnya. Emma balik menggenggam tangan Baji, membuat sang pria terkejut bukan main.

“Gak tau.”

Kening Baji berkerut mendapatkan respon yang tidak ia inginkan. Nafas pria itu tecekat mendapati Emma tengah tersenyum tulus menatapnya.

“Setidaknya kekhawatiran gue sama lu udah ga perlu lagi. Udah ada yang lebih mengerti lo sekarang. Bilang sama Reze, Baji dijaga baik-baik, ya?

Seakan mengerti akan jawaban dari semua jarak antara mereka, Baji menepis genggamannya ㅡ mencari maksud dari kalimat yang ia dapat. Mungkin benar ucapan Chifuyu tempo hari, Emma memnerikannya sebuah perpisahan.

“Gimana rasanya liat gue sama Reze? Apakah sesakit yg gue rasakan?” Baji menatap manik Emma nanar, ia bersandar pada pegangan tangga. Mencoba mencari penjelasan antar dirinya dan Emma.

Ada sungai kecil terlukis di matanya, Baji melihat hal itu dengan jelas. Emma menggeleng, “Lebih sakit saat sahabat terbaik ada dalam situasi terpuruk, tapi gue gak bisa apa-apa.” Emma ikut bersandar pada dinding, berhadapan dengan Baji.

Sudut bibir pria itu tertarik, nafasnya sedikit lega bahwa ia dengan Emma benar-benar sudah sangat asing tapi, mengerti satu sama lain. Entah perkara saat malam itu di pantai atau saat Baji memerogoki Emma dengan Draken.

Tapi jauh di dalam hati, ia sangat mengerti bahwa sejak awal seorang Emma Sano tidak pernah mencintainya sebesar dirinya menaruh rasa pada gadis itu. Mungkin pernah, hanyasaja sikap dan jarak yang mereka ciptakan membuat semuanya hancur, lebur dan sirna dimakan waktu.

“Sukses hari senin, ya?” Ujar Emma mengambil langkah untuk pergi.

Baji menatapnya diam, menyadari dengan jelas bahwa keheningan yang tercipta beberapa menit yang lalu membuat dia mendapati jawaban akan dirinya dan Emma.

“Lo juga.” Ujar Baji melambaikan tangan saat Emma menghilang dari balik pintu.

Bahwa ia dan Emma, hanya seonggok kisah masa SMA yang telah terlukis sejak pertamakali dirinya pindah di rumah coklat ini. Tentang ia dengan lingkungan baru dan Keluarga Sano menyembutnya dengan hangat, seorang gadis tetangga dengan rambut pirangnya saat itu menawari Baji untuk menganggkat beberapa barang. Saat itu kelas 9 SMP, benar-benar membuka halaman baru untuknya dengan hari-hari baru bersama gadis pirang itu, Emma Sano.

Sekarang, Baji mengerti. Ia akan melangkah pada tangga kehidupan selanjutnya tanpa gadis pirang yang selalu menggunakan baju tebalnya tiap pagi. Baji harus terbiasa, ia akan memulainya dengan lapang dada.

written by inupiei


Suasana SMA Sonder di jam 9 pagi ini cukup ramai. Pasalnya, hari ini merupakan hari terakhir bagi kelas 12 bersantai sebelum hari Senin mulai berjuang dalam empat hari ㅡ Ujian Nasional. Kelas 10 dan kelas 11 masih sama seperti biasanya, melaksanakan hari sabtu sebagai latihan ekstrakulikuler dan kebanyakan bagi mereka sibuk akan kegiatan masing-masing.

Pembagian kartu UN sepertinya sedikit telat, mengingat keadaan sekolah yang sangat tidak kondusif akhir-akhir ini. Guru dan perwakilan dari BAN-PT sedang melangsungkan sidang pleno akhir terkait akreditasi sekolah. Jadi, akan ada keterlambatan bagi kelas 12 untuk penerimaan nomor UN.

“Cipuy beneran gak mau respon chat gue dan bahkan kemarin gue nekat ke rumahnya. Gak ada, bahkan sama Emma ke tempat Baji, juga gak ada. Mereka kemana sih?” Celoteh Senju kesal saat mereka ㅡ Yuzuha, Emma dan Hinata duduk di depan kelas 12 IPA 2, tenggelam dalam fikiran masing-masing.

Yuzuha menghela nafas kasar, gadis itu memeriksa gawainya. Melihat room chat yang kian tak mendapat balasan dari banyak pesan yang gadis itu kirim. “Kajut juga.” Ia menyimpan kembali gawainya.

“Mereka masih belum datang?” Tanya Hinata tegas, ia tidak tahan melihat tiga gadis di sampingnya diam dan larut dengan tanda tanya.

Emma menggeleng. “Kalau misal sekolah benar-benar ga dengerin suara kita sebulan ini, gue menyerah.”

“Kenapa?” Ujar Senju spontan.

Ucapan Senju tidak dihiraukan ketiga gadis itu. Senju kesal, tapi atensinya menangkap arah tujuan teman-temannya ㅡ tiga laki-laki yang menjadi pusat fikiran mereka, baru saja berjalan beriringan keluar dari ruangan wakasek. Mereka berempat tersentak.

Jadi, tiga sekawan ini sudah datang ke sekolah sejak pagi?

Buru-buru Yuzuha mengambil langkah, mempersempit jaraknya dengan tiga sekawan yang sekarang berjalan menjauh dari gedung sekolah.

Tampak Chifuyu masih memakai tongkat kruknya, tapi langkah kaki pria itu lebih baik dari terakhir kali Senju melihatnya. Baji berjalan diam dengan tangan yang ia kantongi di celana sekolah, rambut pria itu sudah mulai memanjang. Kazutora diam menatap lurus ke depan, tangan pria itu menggenggam kunci mobil.

Satu yang bisa Yuzuha pastikan saat ia mendapati kalung pita hijau di genggaman Kazu, di kantong baju Chifuyu yang terulur keluar sedikit dan terjuntai di kantong celana belakang Baji. Tiga sekawan itu telah dahulu menerima nomor UN.

“Kazutora!” Sorak Yuzuha saat tiga sekawan itu mulai memasuki pintu piket ㅡ satu-satunya akses keluar sekolah yang terbuka saat proses pembelajaran sedang berlangsung.

Bohong jika Kazu tak mendengarnya, lelaki itu kian menambah langkah. Enggan untuk berbalik arah.

Yuzuha geram saat tiga sekawan itu sukses melangkah keluar pintu piket tanpa mengindahkan tegurannya ㅡ membuat dirinya tertahan oleh satpam sekolah untuk tidak melangkah maju keluar mengikuti mereka.

“Sebentar, Pak!” Suara gadis itu lantang, tegas dan dingin. Kazutora sempat menahan langkahnya beberapa detik.

Satpam sekolah memberi izi Yuzuha dan gadis lainnya untuk menghampiri tiga sekawan yang saat ini bersiap memasuki mobil. Senju mengangguk bingung, dirinya tidak tau jika mobil Chifuyu telah terparkirkan di area parkir guru. Pantas saja ia tidak menyadari keberadaan tiga sekawan ini.

Baji telah dulu memasuki bangku penumpang, Chifuyu dengan sigap memasuki bangku depan ㅡ membiarkan Kazutora mengambil alih stir.

“Kazutora!” Yuzuha menahan pergelangan tangan pria itu, Kazu enggan berbalik arah.

Tidak mau mengalah, Yuzuha berdiri di depannya sekarang. Menatap dirinya dengan kening berkerut, mata yang tajam dan nafas yang sedikit tersenggal akibat langkah besarnya mengejar pria ini.

Ia mengatur nafas sebelum mengeluarkan kalimatnya. “Bagaimana kabarnya?” Tanya gadis itu dengan tatapan mulai melunak.

Kazutora mengernyit, apa karena pertanyaan ini Yuzuha bela-belaan mengejarnya? Pria itu membuang tatapannya. Sungguh, raut dingin dan tatapan diam Kazutora saat ini ㅡ sangat tidak Yuzuha sukai, mengingatkan dirinya saat ia dan Kazu yang sering adu argumen dahulu yaitu Kazu yang kasar, tidak seperti dirinya yang manis beberapa bulan terakhir ini.

“Seperti yang lo lihat.”

Yuzuha mengangguk, merasa belum cukup dengan jawaban yang ia dapat. “Masuk, yuk? Akkun, Mikey dan yang lainnya lagi bahas progress Malam Sarumpun, kita akan rapat nanti.”

Kazutora menyeringai, “Gue bukan lagi bagian dari kalian.” Ia menggeleng.

“Lu tetap ketua kita, kami masih butuh sama lu. Selalu dan seterusnya lu ketua kita.” Yuzuha menekankan tiap kalimatnya, tapi sang lelaki tak memberikan respon apapun selain raut wajah yang datar.

“Kenapa gak dibagikan nomor UN kalian di kelas?” Tanya Emma.

Kazu langsung menyimpan kartu ujiannya. Pria itu membuang muka untuk tak berhadapan dengan Yuzuha yang saat ini memberikannya wajah yang benar-benar mengacaukan fikirannya.

Sekilas manik emas itu menatap Yuzuha dalam diam, menyadari perubahan yang jelas pada gadis itu selama sebulan mereka tidak bertemu. Kulitnya sedikit gelap, wajahnya kering dan rambutnya masih dicepol seperti biasa ㅡ style ramput yang benar-benar Kazu suka.

“Hentikan aksi kalian. Sekolah gak punya waktu meladeni tingkah rusuh yang kalian buat. Jangan memperkeruh suasana.” Kazu menenggelamkan tangannya pada kantong celana, masih enggan menatap manik Yuzuha.

Hinata terkekeh. “Lu pikir, kita turun itu untuk bela kalian bertiga? Hahaha gak ya, lucu, lo! Jika gak ada kalimat baik yang mau diucapkan, mending gausah, Jut. Lu benar-benar nyinggung gue sekarang. Ah.. bukan! Nyinggung Yuzuha dan semua yang mempertahankan keadilan.”

Mereka diam, dua lelaki yang sudah dulu mengisi mobil mendengar dengan jelas percakapan mereka tapi, enggan untuk berhadapan langsung.

Kazu mengangguk, “Selamat Ujian kalau begitu, sukses.” Ia beranjak pergi, melewati Yuzuha dengan diam. Tapi, tangan mungil itu lebih dahulu menggenggam kepalan tangan Kazutora.

“Balas pesan gue, ya? Gue ingin tau kalau lu tetap baik-baik aja. Jangan khawatir, OSIS, MPK dan Malam Sarumpun akan baik-baik aja.” Gadis itu tersenyum tulus, matanya benar-benar menyiratkan kekhawatiran yang besar di sana.

Kazutora berkedip dua kali menatap manik Yuzuha yang sekarang mulai tertunduk dan mengeratkan genggamannya. Sedetik kemudian gadis itu berbalik, melangkah menuju pintu piket untuk segera kembali ke ruang kelas.

Senju kalut dalam fikirannya saat Hinata mengikuti Yuzuha. Tatapannya tak lepas dari pria yang saat ini duduk bersandar dengan memainkan gawai di tangannya. Dengan sigap Senju mengetuk kaca jendela mobil ㅡ mobil yang tak begitu asing baginya, mobil yang menjadi saksi bisu akan perjalanan ia dan Chifuyu. Ah.. Senju merindukan waktu indah yang sempat terukir.

Chifuyu tertegun tapi enggan untuk melihat ke arahnya, sedetik itu juga pria itu menurunkan kaca jendela.

Senju tersenyum, walaupun ia tau sang lelaki tak melihatnya. “Balas pesanku, ya Fuyu?”

Chifuyu menatap lurus layar ponselnya, seperti mencerna beberapa kalimat yang ia dapati dari Senju. Ia melirik gadis itu dengan tatapan tenang dan mengangguk.

Emma hanya berani menatap lelaki bersurai gelap itu dari luar, pria itu tau jika dirinya tengah dilihat lekat-lekat. Tapi, peduli apa? Ia tidak punya kewajiban untuk membagi apapun pada gadis itu, bukan? Ia kembali bersantai duduk menenggerkan dua sikunya pada kursi mobil dengan kepala yang sedikit menengadah ㅡ sambil meluruskan tungkainya yang panjang. Tatapan tajam pria itu menatap lurus ke depan, seolah-olah bisa saja menembus sesuatu.

Kazu segera menyalakan mesin mobil, menancapkan gas dan mulai menjauh dari pekarangan sekolah. Menyisakan Emma dan Senju yang melihat kepergian mobil honda civic hitam metalic benar-benar menghilang dari pandangan mereka.

written by inupiei


“Tau kenapa kalian bertiga dipanggil?” Tunjuk Bu Mayang satu-persatu pada tiga sekawan yang saat ini berdiri menghadap 5 guru; Bu Mayang selaku ketua Tim Disiplin dengan 1 anggotanya, Pak Sapta, Pak Arif sebagai guru BK, Buk Uti sebagai kepala Sekolah dan Pak Ujang sebagai pembina MPK/OSIS.

Baji, Kazu dan Chifuyu menatap lurus kedepan. Tidak satupun dari mereka yang mencoba tertunduk saat pertanyaan tersebut dilayangkan. Mereka diam, menunggu penjelasan lebih dari Tim Disiplin.

Chifuyu sedikit oleng akibat kondisinya sekarang, Pak Sapta menyadari itu.

“Kapten, silahkan duduk.” Ujar Pria berkepala empat itu menunjuk kursi yang tak jauh darinya.

Chifuyu mengangguk, “Boleh ambil tiga, Pak?”

Pak Sapta mengernyit, “Mau goleran?” Ujarnya dibalas Bu Mayang dengan kekehan kecil.

“Buat teman saya.”

“Mereka gak pincang.” Tambah Bu Mayang. “Cepat ambil dan kembali kesini.” Ujar wanita berperawakan hard to please yang dikenal semua murid. Ia begitu ketat akan tiap peraturan. Chifuyu menyebutnya, iblis.

Chifuyu mengurungkan niatnya, ia memutar bola mata dan kembali berdiri di tengah, bersama Baji dan Kazu.

“Saya gini aja, Bu, Pak.” Ujar Chifuyu berdiri menopang tubuhnya tegap dengan tongkat kruk single di ketiaknya.

“Lu ngapain anjir?” Bisik Baji.

“Gue mau berdiri.”

Kazutora menyela, “Ambil bego. Ntar jatuh kita yang repot.”

“Gapapa kan gue beban.”

Baji memutar bola mata, pria itu segera mengambil kursi dan memaksa Chifuyu untuk duduk. Kazutora menarik paksa tongkat kruk milik pria itu.

Bu Mayang berdehem, “Keisuke Baji. Prestasimu luar biasa di club taekwondo sekolah. Bergabung sejak tahun pertama, total medali yang kamu bawa 126; baik itu emas dan perak. Tidak ada perunggu, hebat. Kamu sukses menaikkan nama sekolah.”

Guru Tim Disiplin itu sibuk membolak-balikkan lembaran dokumen yang ada di mejanya. Ia mulai memutar layar laptop berhadapan dengan tiga sekawan. Menampakkan rekaman ulang kejadian final sepakbola turnamen 3.3 di sana. “Kamu mengeroyoki wasit sampai.. wah parah banget keadaan wasitnya sekarang.”

Baji berdiri tegap mendapatkan rekaman yang memperlihatkan fakta kepadanya. Ia mengangguk, bersiap untuk sanksi yang akan diterimanya.

“Keputusan kami disini. Kamu diskors satu bulan penuh, terhitung hari ini. Denda 2.5 juta dan silahkan bawa walimu ke sekolah hari ini juga.” Bu Mayang menepikan berkasnya, ia bersiap dengan berkas selanjutnya.

Tiga sekawan tersebut tertegun. Baji sempat tak percaya jika ia harus membawa Ibu kembali, untuk kedua kalinya ke sekolah akibat ulah yang ia buat.

“Chifuyu Matsuno. Kapten klub futsal, bergabung sejak tahun pertama. Terhitung mengikuti turnamen sebanyak 36 kali dengan kemenangan 27 kali. Anggota junior Semen Padang Football Club. Hebat sekali, kamu sukses menaikkan nama sekolah.” Bu Mayang meneguk air mineral sebelum kembali memutar layar laptopnya ke arah tiga sekawan.

Guru itu menggeleng pelan, “Sikapmu merusak citra baik yang telah kamu bangun sendiri. Tidak supportif, memancing tim untuk bertengkar bersama tim lawan dan melukai kapten tim lawan. Sangat mencoreng nama sekolah. Chifuyu! Kamu diskors satu bulan penuh, termasuk hari ini dengan denda 5 juta. Silahkan bawa wali kamu hari ini juga ke sekolah.”

Baji terperanjat saat mengetahui angka denda yang didapatkan Chifuyu, dua kali lipat. Kazutora mengatur nafasnya, bersiap akan pelanggaran dan sanksi yang akan ia terima. Kaki pria itu bergetar, Baji dan Chifuyu menyadari raut wajah pria itu makin pucat.

“Kazutora Hanemiya. Buk Uti kecewa banget sama kamu nih, Pak Ujang apalagi. Ketua angkatan 38, ketua jurusan IPS angkatan 38, ketua MPK periode 2017/2018 yang satu semester kemarin kembali menjabat untuk periapan Malam Sarumpun, salah satu kandidat IPS yang benar-benar mengangkat nama IPS SMANDER melebihi IPA yang biasanya sangat mengungguli sekolah dan pemuncak akademik di angkatannya, melebihi Senju Akashi dari jurusan IPA.”

Nafas Kazutora berat, ia berusaha untuk mengaturnya tapi, nihil. Pria itu sangat ketakutan.

“Kamu mengundang supporter lainnya untuk turun ke lapangan. Karena kamu yang pertama kali masuk ke dalam lapangan dan ikut mengeroyoki wasit bersama Baji. Selanjutnya, saya serahkan pada Pak Ujang.” Ujar Bu Mayang mempersilahkan Pak Ujang sebagai pembina MO.

Lelaki paruh baya itu sedikit mengatur nafas, ia tau Kazutora saat ini memohon untuk tidak memberinya sanksi diluar akal fikiran. Tapi, rapat komite biru telah selesai. Semua keputusan telah bulat di sana dan tidak bisa diganggu-gugat. “Lepas ban lenganmu, Kazutora.”

Manik Kazutora membulat pun dua temannya tidak menyangka sanksi seperti ini akan diterima teman sejawatnya. Pria bernetra emas itu diam terpaku, tidak pernah terbayang olehnya ban lengan kebanggan yang ia pasang akan lepas tidak terhormat di saat seperti ini.

Chifuyu menyikut perutnya, membuat kesadaran Kazu kembali normal. Ia cepat-cepat maju dan dengan berat hati melepas ban lengan merah maroon itu ㅡ ban lengan yang menandakan dia mengetuai organisasi tertinggi di sekolah.

“Manjiro Sano sebagai wakil angkatan akan mengambil semua tugasmu. Mulai sekarang, Kazutora Hanemiya. Kamu bukan lagi bagian dari organisasi sekolah maupun siswa petinggi sekolah.” Pak Ujang menyelesaikan kalimatnya dengan memberi anggukan pada Bu Mayang.

Baji tak berkedip sekalipun. Chifuyu mengernyitkan dahinya, merasa hukuman untuk Kazu tidak adil.

“Kazutora Hanemiya. Kamu diskors satu bulan penuh terhitung hari ini dengan denda 2.5 juta. Silahkan bawa walimu hari ini juga ke sekolah.” Bu Mayang menyelesaikan kalimatnya dengan menutup semua dokumen yang tadi sempat terbuka lebar di atas meja.

Belum sempat guru muda itu berbicara kembali, Chifuyu terkekeh keras. Membuat dua temannya melemparkan tatapan bingung.

“Saya rasa tidak ada yang perlu di tertawakan?” Ucap Bu Mayang.

“Guru saya yang terhormat. Anda bisa melemparkan semua sanksi ke saya. Apapagi soal denda, benar bukan? Tenang! Pak Matsuno akan memenuhi kebutuhan keuangan SMANDER seperti biasanya.” Kekeh Chifuyu makin keras mendapati raut wajah Bu Mayang yang terlihat kesal.

“Saya paham, Bu, Pak! Kenapa saya mendapatkan denda paling tinggi? Saya mengerti disini. Mengundang wali? Ingin meminta lebih tinggi dari 5 juta??” Mata Chifuyu melototi guru muda yang saat ini kesusahan menahan kesabarannya.

Baji buru-buru membekap mulut Chifuyu. Tiap guru disana hanya terdiam, mencoba mengelak dengan ocehan Chifuyu, tapi benar adanya. Ayah Chifuyu merupakan donasi terbesar di sekolah.

Bukan Chifuyu namanya jika tidak keras kepala, pria itu melepas paksa dekapan tangan Baji. “Kembalikan ban lengan Kazutora dan cabut semua sanksi teman-teman saya. Saya siap menerima skors 3 bulan dan semua denda mereka.” Chifuyu memegang erat tongkat kruknya, muka pria itu memerah mendapati perlakuan sekolah yang tidak mempertahankan hak siswa.

Bu Mayang tertawa, “Kalian bertiga diskors hingga UN. Silahkan kembali ke sekolah 1.5 bulan lagi saat pembagian nomor UN.”

Chifuyu sontak berdiri, membuat kursi yang ia duduki terpental kebelakang. Kazutora kian menunduk, enggan untuk bersuara. Kali ini dua temannya melihat seorang Kazu membisu, Baji menahan keras dirinya untuk kian diam tanpa menambah masalah.

Pak Arif sebagai Guru BK mulai membuka suara, “Perilaku kalian benar-benar tidak mencerminkan siswa di sini. Chifuyu, jangan begitu menekan kami tentang pendanaan orang tua mu. SMANDER punya limit.”

Guru bekepala tiga itu berdiri dari posisinya, “Boleh saya tambah sanksi untuk seluruh jurusan IPS, absen dari kegiatan kelulusan? Mengingat 80% dari supporter yang ikut terlibat, adalah jurusan IPS.” Tanya Pak Arif pada Buk Uti yang saat ini bertopang dagu.

Kepala Sekolah mereka diam sejenak, memandangi Kazutora yang tak berkutik. Membuat Bu Uti sedikit geram. “Silahkan. Ketua mereka tidak bisa berbicara saat ini.”

Kepala Kazu sontak mendongak. Matanya berbinar saat Buk Uti masih menganggap dirinya sebagai pengetua jurusan IPS angkatan 38.

“Kita diberi 3 tambahan sanksi dari rapat Komite Biru, ya Bu dan Bapak sekalian?” Pertanyaan Pak Sapta dijawab anggukan oleh guru lainnya. “Izinkan saya memberi sanksi terakhir. Mereka bertiga berteman, sangat akrab saya lihat. Hanemiya jabatannya dicabut, otomatis kamu tidak memiliki pendamping ijazah. Baji dan Matsuno, terimakasih atas kontribusi kalian selama ini di sekolah. Sertifikat Baji Keisuke, tidak akan di terbitkan. Chifuyu Matsuno tidak pernah menjadi Kapten sepakbola maupun futsal di SMANDER.” Tambahnya menulis sanksi tersebut di sebuah dokumen dan menyerahkannya pada Bu Mayang.

Segera Kazutora mengambil posisi di tengah teman-temannya, membuat mereka untuk tetap tenang.

Cukup lama bagi Kazu membuat dua temannya kembali bernafas normal, ia mencoba untuk membuka suara. “Kalau boleh tau, alasan Bapak dan Ibu Guru sekalian menghujami kami dengan banyak hukuman, apa?”

Buk Uti segera merespon, ia benar-benar menunggu murid favoritnya ini untuk bersuara. “SMANTI sejak periode Bu Mayang siswa disini sekitar 9 tahun yang lalu, sudah seperti itu. Tergantung bagaimana kita menyikapi dari alibi mereka. Akhir bulan ini sidang pleno bersama BAN-PT untuk akreditasi sekolah akan berlangsung. Kalian bertiga harus menerima sanksi rapat biru komite. SMANTI berambisi menjatuhkan akreditasi kita.”

Fikiran Kazutora buntu. Pantas pihak sekolah buru-buru mengadakan rapat komite biru
untuk tetap mempertahankan citra sekolah yang sudah goyah akibat kejadian narkoba tahun lalu. Kazu kian berfikir, mencoba mencari solusi kelonggaran untuk sanksi mereka.

“Saya kasih kamu satu kelonggaran, Kazutora. Silahkan.” Buk Uti berdiri, wanita paruh baya itu melipat kedua tangannya ㅡ menatap manik Kazu yang kian terpancar beberapa harapan di sana.

“Mau ban lengan ini dikembalikan?” Tawar kepala sekolah. Mata Kazu berkedip dua kali. Fikirannya kalut, jika memang Buk Uti memberi kelonggaran. Pilihan apa yang seharusnya pantas ia berikan?

Tatapannya beralih pada Baji dan Chifuyu. Dua temannya seakan memberi peringatan untuk Kazu agar menerima tawaran Buk Uti ㅡ ban lengan kebanggaannya.

“Biarkan Malam Sarumpun tetap jalan sesuai perencanaan, Buk Uti.” Permintaan Kazutora sukses membuat siapa saja di ruangan itu menutup mulutnya, beberapa dari mereka menggelengkan kepala.

Buk Uti tertawa, ia mengibaskan ban lengan Kazutora di udara. “Hahaha.. murid favorit saya memang beda.”

Baji dan Chifuyu menggeleng mendapati keinginan Kazutora yang menurut mereka tak masuk akal, pria itu bisa sajakan mengambil ban lengan kebanggaannya? Chifuyu maupun Baji paham betul tentang bagaimana Kazutora dengan dunia organisasinya, pria itu selalu bercerita dengan lantang akan hal itu ㅡ bahwa Kazutora dengan MPK adalah satu paket yang tidak bisa dipisah.

“Akan saya pertimbangkan kalau begitu. Karena permintaan kamu, salah satu poin hasil rapat komite biru. Silahkan Bu Mayang.” Bu Uti kembali duduk, meminta Bu Mayang untuk menutup pertemuan mereka saat ini.

“Baiklah hasil rapat internal Tim Disiplin hari ini. Baji, Kazutora dan Chifuyu. Mendapatkan sanksi diskors 1.5 bulan, boleh kembali masuk sekolah saat pembagian nomor UN. Pencabutan seluruh jabatan Kazutora, pencabutan gelar kapten pada Chifuyu dan tidak menerbitkan sertifikat kejuaraan Baji. Seluruh siswa 12 IPS dilarang mengikuti kegiatan kelulusan, pembagian ijazah dibagikan pada wali masing-masing. Denda 2.5 juta untuk Baji dan Kazutora serta denda sebesar 5 juta untuk Chifuyu. Ditunggu kedatangan wali kalian sebelum jam istirahat kedua. Tertanda, Tim Disiplin. Silahkan di tanda tangan berkas ini.”

Bu Mayang menyelesaikan penutupannya dengan menawarkan tiga sekawan tiga lembar kertas yang telah di-print dan ditanda tangani lima guru yang berada di ruangan itu.

“Mengenai kelonggaran dari Buk Uti, akan segera diumumkan pada mading umum. Silahkan kemas barang kalian, sampai ketemu 1.5 bulan lagi.”

Kalimat akhir Bu Mayang direspon tiga sekawan dengan pamitan, mereka berjalan keluar ruangan bersama selembar kertas hasil keputusan tim disiplin ㅡ dengan perasaan tidak bisa ditafsirkan sama sekali.

Kazutora langsung jongkok setelah menjauh beberapa langkah dari ruangan wakasek. Pria itu membenamkan kepalanya, meremas kertas keputusan sanksi untuknya. Baji diam, ia belum berkutik sedikit pun sejak masuk ruangan. Chifuyu sangat merasa bersalah.

“Gue minta maaf, Jut, Baji! Gue minta maaf banget.” Ujarnya kesusahan memegang tongkat kruk yang menempel diketiak.

“Maaf-maaf apaan. Lu ngapain pantek!” Elak Kazu berjalan menjauhi dua temannya.

“Kemana njing?” Sorak Baji.

Kazutora memamerkan kunci ruangan MO, ia berjalan menunduk dan mulai menjauh dari pandangan Baji. Chifuyu kian dibaluti rasa bersalah.

Baji menepuk keras pundak Chifuyu, “Gak ada salah siapa-siapa. Mending kemas barang-barang, dah.” Ujar Baji sebelum atensi pria itu menemukan Yuzuha, Senju dan Emma memandang lurus kearahnya ㅡ berjarak beberapa meter tepat di depan kelas 12 IPA 4.

Tiga gadis itu benar-benar dibaluti rasa cemas, terlihat jelas diwajah mereka. Yuzuha mulai mengambil langkah perlahan untuk mendekat, diikuti dengan dua yang lainnya.

Yuzuha kikuk, merasa momen kali ini tidak seharusnya mereka ikut campur dan lebih baik membiarkan mereka tenang terlebih dahulu. Atensi gadis itu kian mengitari sekitarnya, ia tak mendapati lelaki yang tengah ia cari. “Kajut, masih di dalam?” Tanyanya.

Baji mengulurkan telunjuknya keruangan MO, manik Yuzuha mendapati pria yang ia cari tengah masuk ke dalam ruangan. “Kalian baik-baik aja?” Yuzuha tidak yakin saat mendapati wajah Chifuyu tertunduk dalam dan tatapan Baji yang begitu datar.

Tidak ada jawaban, Yuzuha memutuskan untuk menyusuli Kazutora ㅡ meninggalkan dua pasang sejoli yang kian enggan memulai pembicaraan.

“Ba-” Ucapan Emma ditahan Senju.

“Antar gue ke kelas, Ji.” Ujar Chifuyu, ia ingin menenangkan isi kepala saat ini.

Baji segera manariknya dan melewati dua gadis yang saat ini membutuhkan penjelasan akan keadaan mereka. Wajah Senju terlukis kecemasan yang besar di sana. Lelakinya, ah salah. Chifuyu, saat ini sedang merutuki diri sendiri. Ia paham akan hal itu.

“Biarin dulu aja, Em. Mereka sedang tidak baik sekarang.”

Emma yang mendengar ucapan Senju segera mengangguk paksa, batinnya sakit saat mendapati tatapan kosong Baji. Bukan karena perkara Emma disini, tapi karena keputusan Tim Disiplin yang baru saja ia terima ー yang Emma sendiri tidak tau seperti apa.

Benar kata Senju. Mereka dalam kondisi yang buruk sekarang. Jadi, untuk sekarang. Beri mereka waktu.

written by inupiei


Hari ke-2 turnamen sepakbola Nasional 3.3 sedang berlangsung meriah di Lapangan Semen Padang. Babak final pada turnamen tahun ini kembali di meriahkan oleh SMA Sonder VS SMAN 3 Padang ㅡ delapan periode berturut-turut mereka bertanding bersama di final. Lima kemenangan oleh SMANDER dan tiga kemenangan oleh SMANTI.

“Naho! Tekel!!” Sorak Chifuyu dengan nafas yang memburu. Ia beserta timnya sedang didesak waktu.

Benar. Mereka ketinggalan satu gol, SMANTI lebih unggul disaat ronde kedua yang hanya menyisakan 15 menit.

“Kep!! Through ball!!” Sorak Nahoya saat ia berhasil merebut bola dari pihak lawan dan memulai operan yang membelah pertahanan agar Chifuyu dapat berlari.

Kapten mereka berhasil mendapatkan bola, sesaat sebelum menuju tembakan pada gawang, kakinya lebih dahulu bertabrakan dengan pemain lawan. Bunyi peluit kembali menyita pendengaran mereka.

Kartu kuning baru saja ditunjukkan pada lawan. Ia bernomor punggung 04, dengan cibirannya ia melemparkan beberapa kalimat. “Kartu pertama untuk kami, bagaimana dengan SMANDER? Menuju kartu merah? Atau kartu kuning kedua?” Kekeh pria itu sambil menjulurkan lidahnya.

Chifuyu menyeringai. “Bagus banget permain kotor SMANTI, ya Ko?” Ujarnya segera berdiri. Chifuyu sedikit meringis, pergelangan kakinya sedikit terkilir.

Pria yang bernama Koko itu kembali menjulurkan lidahnya, “Lo gak tau aja wasitnya, alumni SMANTI.”

Chifuyu dibuat geram. Sudah terlihat dari awal permainan, wasit lebih berat ke arah lawan. Mulai dari Hanma yang mendapatkan kartu merah, yang seharusnya hal itu bukan tergolong pelanggaran berat serta Magna dan Luck yang sudah mendapatkan kartu kuning kedua mereka. Belum lagi Shinso yang mengalami cidera hamstring akibat tabrakan dengan lawan saat ronde kedua. Wasit tidak bergerak sedikitpun akan hal itu. Dua anggotanya telah meninggalkan lapangan. Chifuyu dibuat cukup frustasi.

Tentu, supporter dari pihak SMANDER dan SMANTI kian bersorak saling menjatuhkan. Dua sekolah itu rival dalam sepakbola, apalagi saat mengetahui kapten SMANDER ㅡ Chifuyu menjadi bagian dari SPFC.

“Aman, bang?” Ujar Iwabe membantu Chifuyu untuk berjalan. Pria itu hanya mengangguk.

“Gue doang yang ngerasa apa gimana ya, bang? Kok turnamen kali ini beda?” Iwabe mengambil posisi, bersiap dengan suara peluit dari wasit untuk segera melanjutkan pertandingan.

Chifuyu menggeleng pasrah. “Gue paling buruk disini.” Nafasnya terengah, keningnya berkerut. Pergelangan kaki Chifuyu kian perih.

Mereka kembali bermain dalam waktu 8 menit yang tersisa, berharap bisa mencetak satu gol untuk menyamakan kedudukan. Lev sebagai kiper begitu fokus hingga pria itu benar-benar melototi laju arah bola.

“Nahoya take-ons!!” Sorak Lev saat bola kian dekat menuju gawang SMANDER.

“Denji!!” Sorak Nahoya segera membuang bola untuk mengamankan pertahanannya.

Denji segera mengoper bola dengan kepalanya, “Kapten!!”

Chifuyu sontak merespon, ia segera berlari dan melompat ㅡ melepaskan tendangan dan mengarahkannya pada gawang lawan. Pria itu meringis kesakitan, pasalnya kaki yang ia gunakan adalah kaki yang tadi sempat terkilir.

Suara peluit berbunyi. Chifuyu berhasil menyamakan kedudukan mereka. Supporter SMANDER kian bersorak tak karuan memenuhi Lapangan Semen Padang.

Sorakan kebahagian tim Chifuyu kian bergema mengikuti supporter mereka. Hingga peluit ditiupkan dua kali, pertanda ronde kedua telah selesai. Mereka seri, berdasarkan ketentuan turnamen. Mereka mendapatkan waktu tambahan 15 x 2 menit dengan peraturan gol emas ㅡ siapapun yang lebih dulu mengungguli kedudukan, permainan akan dihentikan.


“Haha pntek! Pantesan dari awal wasitnya langsung ngasih kartu merah, baru aja 20 menit.” Umpat Terushima ikut bergabung dengan tim SMANDER dalam waktu istirahat.

Chifuyu mengatur nafasnya. “Gak heran, bang. Gak kali ini doang SMANTI main kotor.”

“Gue kira wasitnya dari SPFC?” Sambung Izana yang menyempatkan hadir di turnamen besar SMA nya.

“SPFC sponsor doang, bang.” Balas Chifuyu meregangkan ototnya.

“Alumni SMANTI, ya? Angjatan berala?” Celoteh Iwaizumi berkacak pinggang.

Izana menoleh, “Angkatan bang Shin, gak bang?”

Iwaizumi menggeleng, “Engga kayaknya. Chifuyu dan yang lain, kalian udah bermain bagus. Gue bangga, ga usah dipermasalahin ntar hasilnya. Permainan kalian kali ini bagus banget.” Pria yang dua tahun lebih tua dari Chifuyu itu menepuk pelan punggungnya dan diikuti Izana serta Terushima memberikan jempol kearahnya.

Peluit kembali dibunyikan, menandakan babak terakhir sebagai mengungguli kedudukan mereka akan segera dimulai. Chifuyu langsung bangkit setelah menyemprot pergelangan kakinya dengan Etil Klorida, spray khusus untuk keseleo.

Chifuyu sempat melirik ke arah supporter, ia mendapati Baji dan Kazutora tengah memegang spanduk bertulisan Kapten PekeJ Pelindung Asia!! Jaya! Jaya! beserta gambar kucing hitam. Chifuyu hanya menggeleng, maniknya sempat menangkap Senju tengah melambai ke arahnya dengan terompet khas sepak bola yang kian ia tiup.

Sangat manis, begitulah batin Chifuyu.


“Denji!! Depan woi!” Sorak Magna yang sedang berusaha mempertahankan keamanannya.

“Nahoya!!” Balas Denji.

Sorakan kian menggema di lapangan, mengingat babak pertama ㅡ tak satupun dari salah satu tim yang berhasil mencetak gol.

Peluit kembali ditiup. Tim lawan terluka, entah pelanggaran yang semacam apa. Chifuyu tidak tau. Matanya membulat saat kartu merah kedua melambai di udara, pelanggaran itu untuk Magna. Tiga anggotanya meninggalkan lapangan, jika satu lagi kartu merah. SMANDER habis, mereka benar-benar kalah dan permainan akan selesai.

“Aman lu? Tim lu kenapa sih hahahah!” Ujar lelaki yang tak jauh jaraknya dari Chifuyu.

“Berisik lo anjing!” Ia segera mengabaikan cemoohan dari Kapten tim lawan, Kakucho.

Geraham Chifuyu mengeras. Ia berusaha untuk tenang saat Inupi, tim lawan yang sengaja mendapatkan senggolan dari Magna ㅡ menyeringai kearahnya.

“Pntek kalian.” Ujar Chifuyu ke arah Kakucho.

“Hah? Kerasin dong, biar kartu merah ketiga buat lu.” Lelaki itu sengaja mengarahkan telinganya lebih dekat.

Peluit kembali bertiup, 8 menit waktu tersisa sebelum tendangan pinalti dilakukan.

“Peh!! Arah sini!” Sorak Denji sudah siap dengan sundulan lemparannya.

“Gue mohon kali ini masuk!! Kapten pass!” Pehyan melambungkan tendangannya keatas hingga memotong umpan lawan.

Chifuyu yang sudah bersiap di areh lawan segera mengambil posisi untuk tidak dihadang bersamaan. Pria itu dengan cepat melompati area lawan, berlari cukup kencang sebelum melayangkan tendangan lurus menuju gawang lawan.

Tendangannya meleset. Lengan kakinya kian berdenyut. Tampaknya hal ini membuat Chifuyu kesusahan mengatur tendangannya.

“Santai, Kep. Masih ada waktu.” Pehyan menepuk pundak Chifuyu.

Peluit ditiup, kedua tim kembali memperebutkan bola untuk mengungguli kedudukannya. Chifuyu ikut bergerak mengikuti bola yang saat ini mulai menuju ke area pertahanan mereka. Tim lawan cukup gesit, hingga bola saat ini hanya berjarak beberapa meter di depan gawang SMANDER.

“Kiri Denji, kiri!!” Sorak Lev yang enggan melepaskan tatapannya pada bola.

Chifuyu tak tinggal diam. Ia segera mematahkan pertahanan lawan dan merebut bola. Pijakan Chifuyu tidak seimbang, pria itu merasakan bagian ligamen penahan persendian lututnya bergeser ㅡ saat Kakucho mendorong keras tubuhnya.

Badan Chifuyu tumbang diikuti dengan bunyi peluit, pertanda lawan berhasil mengungguli kedudukannya. Hingga peluit panjang yang dihembuskan dua kali, menjadi penutup Pertandingan Final Turnamen Nasional 3.3 Kota Padang.

Sorakan supporter kian heboh. Tim Chifuyu dibuat naik pitam saat wasit tidak begeming ketika Kapten mereka mengalami cidera yang sangat serius.

Supporter SMANDER kian berteriak.

“Woi curang!”

“Gila lo wasit gak adil.”

“SMANTI kontol.”

Seketika lapangan dipenuhi antar supporter yang saling melempar umpatan. Yang Chifuyu lihat saat kesadarannya masih aman adalah, Baji dan Kazutora tengah mengeroyoki wasit. Antar supporter tim saling bertengkar ㅡ melempar tendangan pun pukulan. Ia melihat Yuzuha, Emma dan Senju ikut turun dengan tendangan mereka.

Chifuyu terkekeh, ia berusaha bangkit dan menghampiri Kakucho. Melempar satu tonjokan keras pada wajah pria itu. Tim Chifuyu tak tinggal diam, bagai mendapat tenaga baru. Mereka dengan sigap menendang satu persatu tim lawan. Mengakhiri turnamen yang tidak adil, hingga kegaduhan mereka selesai dengan campur tangan polisi memasuki area Lapangan Semen Padang.

Wasit luka parah. Beberapa supporter mengalami luka berat. Chifuyu mengalami cidera yang sangat serius. Pertandingan Sepakbola Turnamen 3.3 Nasional Padang diungguli oleh SMAN 3 Padang. Menghapus sejarah SMANDER sebagai juara unggulan lima tahun berturut-turut.