Tentang Ia dan Emma
written by inupiei
Emma mendorong pelan pintu berwarna coklat tua yang berlapiskan kayu solid di kediaman Baji. Gadis itu tampak menenteng setengah lusin sweater dan jeket yang telah ia lipat rapi. Jalannya sedikit diperlambat ㅡ ia mengambil langkah menuju lantai atas, kamar sang pria yang tengah ia cari.
Gadis bersurai pirang itu sesekali memutar pandangannya, tak satupun penghuni rumah yang ia temui. Tapi, pintu tidak terkunci dan motor Baji terparkir tegak di pekarangan rumah.
“Baji..? Ibu..?” Gumam Emma saat kakinya menambah langkah pada tingkat tangga selanjutnya.
Tidak ada jawaban.
Sudut bibir Emma tertarik, gadis itu menangkap suara bising dari kamar pria yang tengah ia cari. Pantas saja suara itu terdengar jelas, pintunya sedikit terbuka.
Buru-buru Emma menghampiri pintu itu karena tentengannya yang kian merasa tidak seimbang. Gadis itu mendorong pelan pintu kamar Baji, berharap tidak mengganggu aktivitas sang tuan disana.
Di fikiran Emma, seorang Baji Keisuke akan menghabiskan waktu seperti biasanya ㅡ bermain PS yang sering dijadikan tempat ia dan tiga sekawannya berkumpul yang kadang berisikan umpatan dan celoteh mereka selama memainkannya. Tapi, kali ini dugaan Emma Sano salah. Koreksi, ia tidak salah. Layar TV memang menampilkan permainan lelaki itu yang sedang dijeda dengan tangan yang masih memegang stick. Baji menyadari kehadirannya, tapi ia semakin intim melanjutkan aktivitasnya saat ini.
Emma sempat terbelalak saat menyadari situasi di depannya ㅡ Baji yang tengah tersandar di bawah ranjang dengan seorang gadis yang mengalungkan kedua tangannya di leher sang pria, larut dalam ciuman yang sangat lekat. Emma yakin, gadis itu dalam posisi tidur dengan kepala bertumpu di paha Baji sebelumnya.
Emma kikuk, gadis itu dua kali lebih kikuk saat tatapannya dengan Baji bertemu. Tampaknya pria itu tidak berniat menghentikan aktivitasnya. Lelaki itu makin memperdalam ciumannya dengan membawa sang gadis ke atas paha. Tapi, tatapan pria itu kian lekat pada sosoknya yang terpatung di depan pintu. Emma tertegun, merasa tidak ingin mengganggu dan buru-buru menaruh tentengannya di sembarang tempat sebelum hal itu menghancurkan situasi yang ia lihat.
Gadis Sano itu melangkah pergi, dia masih mencerna pada aktivitas yang baru saja ia lihat.
Baji dan Reze? Sejak kapan? Batinnya.
Emma bisa mendengar dengan jelas langkah besar sedang menuju ke arahnya. Satu langkah lagi gadis itu menuju pintu ke luar, tapi satu tangan berhasil menahannya. Ia menemukan Baji dengan tatapan tak bisa ia artikan ㅡ sedang memegang pergelangan tangannya dengan kuat. Emma tidak tau kenapa pria ini tiba-tiba saja menahannya.
Pegangan Baji mulai melemah. Tatapan mereka kian lekat satu sama lain, seolah-olah Baji melemparkannya tatapan balas dendam yang berhasil pada sang gadis.
“Sorry, gue gak maksud ganggu lo.” Ujar Emma membuyarkan isi fikiran sang pria. “Gue ngantar sweater dan jeket punya lo. Sorry udah keep barang-barang lo selama itu di gue.” Emma mulai menepis genggaman Baji, tapi lelaki itu tampak enggan melepaskannya.
“Maksud lo?”
“Ha?” Emma benar-benar tidak mendengar ucapan Baji yang lebih tepatnya gumaman sang pria. Apakah lidah pria ini ikut tertinggal di atas sana hingga ucapannya benar-benar tidak keluar dengan sempurna di telinga Emma?
“Maksud lo apa?” Kali ini ucapan Baji terdengar jelas.
Emma mengernyit, “Ngantar barang-barang lo.”
“Hari itu.”
Emma berfikir dua kali arah ucapan Baji yang membuatnya tidak mengerti. Sekilas memori beberapa bulan yang lalu muncul di kepalanya, membuat ia mengerti hal tersebut menjadikan dirinya dan Baji makin berjarak. Atau lebih tepatnya, menjadi sangat asing.
“Gue minta maaf. Gue ga tau lo datang.” Emma menatap sekilas manik coklat yang sangat ini memancarkan tatapan tidak puas.
Baji terkekeh, “Di depan labor fisika.” Ia masih enggan melepaskan genggamannya pada sang gadis.
Emma terdiam, jantungnya berpacu dua kali melebihi biasa. Seketika memori yang Baji maksud, terekam kembali di benaknya. Lidahnya kelu, matanya menunduk menatap tangan yang lebih gelap darinya saat ini menggenggamnya. Emma balik menggenggam tangan Baji, membuat sang pria terkejut bukan main.
“Gak tau.”
Kening Baji berkerut mendapatkan respon yang tidak ia inginkan. Nafas pria itu tecekat mendapati Emma tengah tersenyum tulus menatapnya.
“Setidaknya kekhawatiran gue sama lu udah ga perlu lagi. Udah ada yang lebih mengerti lo sekarang. Bilang sama Reze, Baji dijaga baik-baik, ya?
Seakan mengerti akan jawaban dari semua jarak antara mereka, Baji menepis genggamannya ㅡ mencari maksud dari kalimat yang ia dapat. Mungkin benar ucapan Chifuyu tempo hari, Emma memnerikannya sebuah perpisahan.
“Gimana rasanya liat gue sama Reze? Apakah sesakit yg gue rasakan?” Baji menatap manik Emma nanar, ia bersandar pada pegangan tangga. Mencoba mencari penjelasan antar dirinya dan Emma.
Ada sungai kecil terlukis di matanya, Baji melihat hal itu dengan jelas. Emma menggeleng, “Lebih sakit saat sahabat terbaik ada dalam situasi terpuruk, tapi gue gak bisa apa-apa.” Emma ikut bersandar pada dinding, berhadapan dengan Baji.
Sudut bibir pria itu tertarik, nafasnya sedikit lega bahwa ia dengan Emma benar-benar sudah sangat asing tapi, mengerti satu sama lain. Entah perkara saat malam itu di pantai atau saat Baji memerogoki Emma dengan Draken.
Tapi jauh di dalam hati, ia sangat mengerti bahwa sejak awal seorang Emma Sano tidak pernah mencintainya sebesar dirinya menaruh rasa pada gadis itu. Mungkin pernah, hanyasaja sikap dan jarak yang mereka ciptakan membuat semuanya hancur, lebur dan sirna dimakan waktu.
“Sukses hari senin, ya?” Ujar Emma mengambil langkah untuk pergi.
Baji menatapnya diam, menyadari dengan jelas bahwa keheningan yang tercipta beberapa menit yang lalu membuat dia mendapati jawaban akan dirinya dan Emma.
“Lo juga.” Ujar Baji melambaikan tangan saat Emma menghilang dari balik pintu.
Bahwa ia dan Emma, hanya seonggok kisah masa SMA yang telah terlukis sejak pertamakali dirinya pindah di rumah coklat ini. Tentang ia dengan lingkungan baru dan Keluarga Sano menyembutnya dengan hangat, seorang gadis tetangga dengan rambut pirangnya saat itu menawari Baji untuk menganggkat beberapa barang. Saat itu kelas 9 SMP, benar-benar membuka halaman baru untuknya dengan hari-hari baru bersama gadis pirang itu, Emma Sano.
Sekarang, Baji mengerti. Ia akan melangkah pada tangga kehidupan selanjutnya tanpa gadis pirang yang selalu menggunakan baju tebalnya tiap pagi. Baji harus terbiasa, ia akan memulainya dengan lapang dada.