Rumi Haitani

inupiei

written by inupiei


Chifuyu menuruni motornya setrlah memasuki pekarangan Rumah Akashi dan segera di sambut oleh Haruchiyo yang tengah selonjoran di beranda rumah.

“Yo bang!” Sapa Chifuyu sambil membuka pengait helm Senju.

Senju yang tidak sabaran segera berlari kearah Haruchiyo dan membanting tasnya yang spontan di sambut Chifuyu. Gadis itu bergulat ria di pelukan Haruchiyo yang tampak malas, tapi pria itu enggan melepaskan.

“Apa lu?” Balas Haru saat Chifuyu kian menatap mereka lekat.

“Apasi sensi amat hahahah! Nih gue bawa seserahan hehehe..” Tawa Chifuyu ikut masuk ke beranda rumah.

Haru mengalungkan tangannya di bahu Senju. “Seserahan seserahan tai ayam.”

“Jangan gitu bang, gue aduin kak Maki, ya lu!”

“Yeee ngelunjak ni anak!” Ujar Haru saat tidak berhasil menoyor kepala Chifuyu.

“Bang Omi mana?” Tanya Senju saat tidak mendapati kakak tertuanya.

“Senju? Itu Senju? Bawa pacarnya ke rumah, ayo makan.” Sorak wanita paruh baya dari dalam rumah.

Senju segera berdiri sambil menarik Haruchiyo dari duduknya. “Iya Bunda.” Gadis itu menarik dua lelaki kesayangannya menuju rumah.

“Selo buset. Pucet gitu muka, player SPFC kaya gini?” Ledek Haru saat mendapati Chifuyu kian kesusahan mengatur nafas.

“Doain gue bang!”

Haru memutar bola matanya saat mendengar respon Chifuyu.


“Gimana sekolahnya, Chifuyu?” Tanya wanita paruh baya yang berjarak dua kursi darinya.

“Aman Bunda. Walaupun aku sedikit payah dalam akademik.” Chifuyu kikuk saat ditanya hal akademik untuk pertamakali. Ya, tidak heran. Ia sering mengingat ucapan Baji bahwa keluarga Senju memiliki background pendidikan yang bagus.

Bunda Akashi tertawa pelan. Dilihat dari penampilannya, wanita paruh baya ini seperti Senju dewasa. Memiliki rambut perak yang disanggul dan mata berwarna hijau, gaya bicara, gaya tertawa dan gaya bercelotehnya, semuanya Senju dapat dari wanita ini. Tak heran sesekali Chifuyi terpana melihatnya dan kian berganti melihat wanita yang duduk di sebelahnya. Bagai pinang dibelah dua.

“Di SPFC, pasti enjoy dong, ya?” Ledek Senju dewasa dibalas tawa oleh Chifuyu.

“Banget Bunda. SPFC hidup aku.”

“Ga masalah LDR sama Senju?” Tanya Takeomi saat pria itu mengambil perkedel di depan Chifuyu.

“Ga masalah, bang.”

Jujur, sedari tadi nasi yang dihidang didepannya masih banyak tersisa. Chifuyu kian memikirkan apa saja pertanyaan yang akan ia dapat dan bagaimana seharusnya ia menjawab.

“Senju nanggung, LDR-annya mending sekalian ambil Monash Univ, ya kan?” Ledek Bunda Akashi sambil menawarkan sup ke arah Chifuyu.

“Bundaa.. kan udah di bahas, adek maunya Univ lokal, kayak Bang Aru.” Senju mengambil mangkuk sup tawaran Bunda dan menyendokkannya ke atas piring Chifuyu.

“Iyaa sesuka kamu, adek! Chifuyu ayo dihabisin, Bunda pesan durian sama ketan di Uda Puri. Mikey lagi jemput.” Celoteh Bunda Akashi kembali menawarkan telur dadar kesukaan Chifuyu.

“Senju bilang kamu suka telur dadar, kan? Ayo tambah yang banyak. Habis ini kita gas makan durian dan ketan. Rasain ayah ga bisa pulang karena job luar kota, hahahaha!” Bunda Akashi begitu semangat sampai anak tertuanya menggelengkan kepala.

Senju memaksa senyumnya saat menyadari ekspresi Chifuyu yang berubah drastis. Senju paham, lelakinya sama sekali tidak suka dengan nama Mikey.

“Habisin ini dulu, Bunda. Nanti aja makan durian ketannya.” Ujar Senju memperhatikan Chifuyu mulai melahap beberapa makanannya.

“Lahap bener lu, lapar ya?” Ledek Haruchiyo tak diindahkan Chifuyu, pria itu tampak fokus dengan makanannya.

“Pesan Bunda, jangan sampai hubungan kalian mengganggu mimpi masing-masing, ya Chifuyu? Senju?”

Ucapan Bunda dibalas anggukan oleh Senju, Chifuyu melempar senyumannya dengan pipi yang penuh akan makanan.

“Assalamualaikum!” Sorak suara cempreng yang menerobos masuk. Kedatangan pria itu diikuti oleh aroma kuat durian yang memenuhi ruang makan.

Wanita paruh baya itu segera berdiri, “Wah akhirnya. Makasih, ya Mikey. Duduk dulu ayo.” Tawar Bunda dengan bangku di sampingnya yang kosong. Tepat di sebelah bangku kosong, Senju menatap lelaki bermanik hitam itu dalam diam.

“Iya Bunda.” Ujar Mikey tanpa pikir panjang segera menuju kursi yang ditawari ㅡ menyalami Bunda Akashi dan melakukan cipika-cipiki setelah meletakkan bawaannyaㅡ.

Mikey melirik Chifuyu yang saat ini menatapnya dengan pandangan tidak suka. Mikey tertawa pelan kearahnya. “Sampai kapan di Padang, Bang Omi?” Tanyanya.

“Besok balik, Ky.” Balas Takeomi sambil meneguk air. “Shin apa kabar? Pengen mampir tapi masih pengen tidur.”

Mikey tertawa, ia melirik kearah Chifuyu sebelum merespon Takeomi. “Biasa masik sibuk ngebengkel. Aman Bang, ntar dibilangin.”

“Lagak lo!” Ledek Haruchiyo.

“Eh gue baru liat lo ada disini.” Mikey kembali membalas ledekan Haru.

“Anj..” Haru menahan ucapannya saat tatapan Bunda menatapnya lekat.

“Acara tahunan Smander, gimana Mikey?” Tanya Bunda menyodorkan nasi ke arah Mikey.

Pria itu mengangguk, “Alhamdulillah aman Bunda. Tim Mikey bisa diandalin semua, semoga lancar.”

Chifuyu terkekeh pelan, mengingat sefrustasi apa teman karibnya akan acara itu.

Sontak pandangan tertuju kearahnya yang sempat tertawa mencemooh Mikey. Chifuyu segera mengambil tisu, mengusap hidungnya.

Mikey menatap lekat manik Chifuyu yang berpura-pura flu akibat tawa olokannya tadi. “Senju. Gue ada kenalan di Jogja, ntar dia bisa nyariin kostan buat kita biar ga ribet.”

Sendok di genggaman Chifuyu tiba-tiba terjatuh. Netranya beralih melirik Mikey dengan tatapan yang benar-benar bisa saja menembus kepala pria itu. Mikey tersenyum puas.

“Ini.” Ujar Senju mengambil sendok yang baru untuk Chifuyu. Gadis itu tidak merespon ucapan Mikey, ia mencoba menormalkan detak jantungnya. Demi Tuhan, ia tidak tahu jika Mikey sengaja membuka pembicaraan seperti ini.

“Rencana Bunda sama Ayah, pengen booking Pasific Garden buat kalian berdua.” Tutur Bunda merapikan alat makannya.

Haru menghela nafas, ia melirik Senju yang kian terdiam dan Chifuyu tak kalah diamnya. Lelaki itu menatap kosong bergantian ke arah Bunda dan Senju. Tampaknya adik kecilnya itu tidak berani menatap manik di sebelahnya itu. “Lo ngikut Senju mulu, Mik!” Ujar Haruchiyo menyelesaikan makannya.

“Haru, Senju itu Bunda izinin di UGM karena katanya ingin sama Mikey. Makanya-”

“Bunda!” Senju berdiri dari duduknya, suara gadis itu sedikit meninggi. Membuat sang Ibunda ikut terkejut dengan yang lain.

Senju tertawa canggung, “Fuyu, dia ada latihan untuk futsal 3.3 nanti. Dia pamit duluan, iya kan, Fuyu?” Gadis itu menatap lelaki yang kini diam tak bersuara di sebelahnya, sambil memaikan sendok dan garpu, Chifuyu melirik Senju.

Senju tidak bisa mengartikan tatapan prianya saat ini.

“Engga. Kata siapa? Aku masih mau makan dan ada duren sama ketan yang baru saja di bawa M-i-k-e-y.” Pria itu menarik sudut bibirnya sembari menekankan tiap kalimat dalam nama yang baru saja ia sebut.

Senju tertegun. Niatnya ingin mengakhiri obrolan yang seharusnya belum bisa ia beritahu pada Chifuyu, gagal. Gadis itu kembali ke posisinya, menatap manik Chifuyu yang saat ini enggan menatapnya.

Hati Senju terenyuh. Ia tidak bisa menahan rasa sedih jika mendapati Chifuyu kembali bersifat dingin di saat seperti ini. Buru-buru gadis itu merubah ekpresinya agar tidak disadari oleh seisi meja.

“Gimana? Senju!? Kenapa tiba-tiba? Udah buka hati? Eh.. maaf Chifuyu gua ga maksud, karena Senju udah berkali-kali nolak Mikey dan tiba-tiba?” Takeomi menahan tawa mengakhiri kalimatnya.

Senju melototi Takeomi dengan tangan yang mulai bergetar, “Bang, jangan dibahas.” Geleng Senju.

“Mengingat dari dulu tuh, Mikey yang sering ngikutin kamu.” Tambah Bunda dikuti tawa Mikey.

Senju hanya bisa diam, pasrah. Gadis itu berusaha menggenggam tangan Chifuyu, tapi lelaki ini menepis. Cengkeraman pada rok sekolahnya bertambah kuat, bibir Senju bergetar.

“Mending makan ketan sama duren sekarang, Bunda. Puy, Senju! Siapin dah!” Ujar Haru memotong candaan Bunda, Takeomi dan Mikey.

Chifuyu meletakkan sendok, ia terkekeh. Lelaki itu berdehem sebelum mengeluarkan suara. “Makanannya enak, Bunda. Senang bisa bertemu dengan keluarga Akashi. Sepertinya aku harus pulang lebih awal, Mama nunggu di rumah.” Lelaki itu merapikan alat makannya, berdiri dari posisi dan beranjak menuju wastafel.

“Wah sayang banget. Ya sudah, Chifuyu hati-hati, ya. Sukses untuk masa depannya.” Wanita paruh baya itu berdiri, menyambut Chifuyu yang bersalaman untuk segera pamit. Senju mengekori langkah Chifuyu, gadis itu ikut mengantar kekasihnya keluar.

“Mikey ga kenal, ya sama Chifuyu?” Tanya Bunda saat dua sejoli itu menghilang dari ruang makan.

Mikey tertawa, “Engga.” Gelengnya.

written by inupiei


warning: kissing

“Ze, ke rumah gue dulu, ya?” Ujar Baji saat motornya keluar dari Grand Basko Mall.

Reze mengangguk dan mengencangkan ikatan helmnya.

Chifuyu dan Kazutora memberi Baji klakson, pertanda mereka menyusuri jalan yang berbeda. Chifuyu menjemput sang kekasih dan segera menghadiri acara makan malam di Rumah Senju dan Kazutora yang melaju kencang dengan motornya yang baru saja selesai diperbaiki ㅡ butuh waktu satu minggu baginya untuk bisa mengendarai motor kuning kesayangan setelah insiden tabrakan dengan truk molen.


Kediaman Sano tampak tenang saat Baji memberhentikan motornya tepat di depan gerbang berlapis kayu mahoni setinggi 3.5 meter. Ia membuka helm dan membiarkan surainya diacak oleh angin senja yang kian menyapu daerah pondok. Baji melempar kunci motor ke arah Reze yang kini bersandar di depan gerbang.

“Bentar, ya?” Ucap Baji segera melangkah memasuki kediaman Sano.

Langkah pria itu cukup normal saat membuka gerbang dan menemukannya tidak dikunci, tandanya ada orangkan? Tidak mungkin Mama dan Papa Sano ada di rumah, mengingat hari ini mendekati akhir pekan sudah pasti mereka bepergian ke Painan ㅡ tempat Nenek dan Kakek Mikey.

Sesaat sebelum Baji berbalik arah menuju ke kediaman Sano ㅡ setelah menutup kembali pintu gerbang, ia mendengar jelas suara kecupan yang kian menyaut. Netra pria itu membulat, dirinya tidak ingin mengganggu siapa yang tengah berciuman mesra di belakangnya.

Mikey? Dengan siapa? Baji tau teman pirangnya itu menyukai Senju. Jadi, mustahil.

Atau, Emma? Dengan siapa?

Degup jantung Baji kian berpacu saat fikiran di kepalanya kian bercabang. Badannya kaku, tapi mau tak mau ia harus segera mencari tahu siapa yang berani berciuman mesra di depan rumah? Dan ia harus segera mengambil aki di dalam rumah.

Ia berusaha untuk tidak melihat aktivitas itu sesaat setelah berbalik arah, tapi Baji mematung mendapat pemandangan di depannya. Setelah mengetahui siapa dua sejoli itu, ia menyesal. Lebih baik ia tidak meng-iyakan pintah Shinichiro.

Netra kecoklatan itu menangkap Emma masih duduk manis di jok penumpang, tangan mugil gadis itu memegang sisi seragam sang pria yang Baji tau betul; Draken. Dengan satu kaki terangkat ke atas jok, Emma membalas lumatan demi lumatan yang kian dalam. Hingga mereka tidak menyadari suara pintu gerbang dan seseorang tengah menonton.

Baji terpaku melihat bagaimana Draken memegang tengkuk Emma dengan badan bongsornya yang menunduk dan rambut pirang Emma sesekali ia sematkan di belakang telinga gadis itu. Pria bersurai pekat itu membuang muka, tersenyum masam dan melangkah melintasi dua sejoli yang kian tidak sadar akan keberadaannya.

Sontak Emma terkejut mendapati Baji menyelonong masuk ke dalam rumah. Netra gadis itu kian membulat saat Baji kembali melintasinya, tanpa respon dan sapaan seperti biasa ㅡ pria itu melangkah mendekati pintu gerbang seolah-olah tidak menyadari keberadaan Emma dan Draken.

Emma mendapati Reze bersandari di pintu gerbang, entah sejak kapan gadis itu masuk. Yang Emma dapati Reze tengah menutup mulut dan tertawa kecil kearahnya, segera gadis bersurai pekat itu mengambil aki yang ada di genggaman Baji dan menukarnya dengan kunci motor.

Pintu gerbang tertutup dengan Reze melempar lambaian ke arahnya, Emma tak kian berkutik sesaat setelah turun dari motor. Gadis itu menatap pria jangkung yang saat ini bertumpu siku pada motornya.

“Tau ya, Baji datang?” Ujar gadis itu dengan wajah yang masih shock.

Draken tersenyum, “You are like a pro, i love it.”

Emma mendengus, gadis itu terlihat sendu. “Kenapa?”

“Biar dia tau, kamu punya aku. Didn't you say yes, yesterday?” Ujar Draken meraba pipi halus Emma.

Pria itu mengusap pelan butiran bening yang sempat turun di pipi Emma. “Apa yang terjadi pagi ini saat kamu milih berangkat dengan dia? Ga jadi jelasin ke dia kalau kita udah pacaran?”

Emma mengusap wajahnya, ia tidak sanggup menjawab pertanyaan Draken.

“Melihat respon Baji tadi, kayanya dia sudah tau, ya?” Ujar Draken membawa gadis pirang itu ke pelukannya, mengusap pelan surai pirang Emma yang masih diikat pendek.

“Kamu bakal lupain dia, ada aku sekarang yang jadi pacar kamu. Jangan sedih lagi. I can treat you better than he can.”

Emma mengalungkan kedua tangannya pada pinggang Draken. Entahlah, bagi Emma Sano, Draken lebih dari sekedar penenang baginya. Pria ini benar-benar tipe yang ia harapkan dimiliki oleh pria bersurai pekat itu.

written by inupiei


Pekarangan Rumah Yuzuha tampak diisi oleh beberapa motor, jika dihitung ada empat motor yang sedang parkir dengan teratur. Pintu rumahnya terbuka lebar, melihatkan beberapa murid sekolah dengan pakaian seragam tengah berfokus pada layar laptop masing-masing.

“WiFi lu nge-lag, Ju?” Ledek Hinata.

Yuzuha memutar bola matanya, “Ngucap, lu kira lagi di rumah Mitsuya?”

“Hah?” Balas lelaki bersurai lilac silver yang berselonjor di atas sofa. Dirinya sedang fokus memeriksa biodata diri yang tampil di layar laptop, tiba-tiba buyar saat namanya disebut Yuzuha.

Seorang lelaki bermanik biru terkekeh, “Jadi ingat kelas 10 kerkom di rumah Uya, WiFi-nya lelet parah.” Lelaki yang tengah berceloteh itu kekasih Hinata, Takemichi.

Yuzuha kembali tertawa, “Udah-udah. Ga boleh gitu, ada WiFi aja di rumah Uya udah syukur.”

Mitsuya mengangguk datar menanggapi ucapan Yuzuha. Hinata terkekeh pelan mengingat dua tahun lalu, mereka berempat satu kelas.

Baji, Emma dan Kazutora ikut membuyarkan fokusnya. Sesekali ikut terkekeh dengan lelucon yang mereka tidak mengerti.

“Ji! Lu ngapain aja sih? Ini udah di slide 5, lu masih di slide 2?” Pekik Emma saat menggeser netranya pada layar laptop Baji.

Sontak Baji terkejut, “Ya kan gue telat datang, maaf.” Pria itu ikut melirik lauar Kazu dan Emma. Ia mendengus.

“Selow aja, Ji. Masing ada waktu seminggu.” Ujar Mitsuya menanggapi pekikan Emma.

Baji tersenyum canggung. Ia tidak tahu jika Yuzuha ikut mengundang orang lain selain mereka. Sedikit canggung karena ini pertama kali berbaur dengan teman-teman Yuzuha. Tidak hanya Baji, Kazu dan Emma merasakan hal yang sama. Saat Hinata melempar lelucon, mereka tidak memahaminya pun sebaliknya.

“Tadaaa~”

Sorak Hakkai datang dengan martabak, mie narako dan kerupuk pangsit nyonyor.

“Kita pesta! Gue buatin lemontea dulu.”

Si bungsu Shiba itu tampak bersemangat dengan suasana rumahnya yang begitu ramai.

Maklum, jarang mendapati keadaan rumah yang ribut dan ramai. Karena, orang tua mereka di Australia dan Kakak tertua kuliah di Semarang. Menjadikan rumah besar ini hanya diisi oleh dirinya, Yuzuha dan dua orang ART.

Yuzuha menarik kresek yang berisikan pangsit nyonyor kesukaannya. Gadis itu juga mengambil potongan martabak dan meletakkannya di piring ㅡ memberikannya pada lelaki yang masih terpasang gips di tangan kanannya. Lelaki itu melempar senyum sebelum kembali fokus pada aktivitasnya.

Emma kesusahan menjangkau bungkusan mie narako, dengan sigap Baji mengambilkan untuknya. Tapi salah, pria itu mengambil untuk dirinya sendiri. Gadis itu mendengus, ia kembali berusaha mengambil satu kotak mie narako. Tapi, tangan Baji terjulur dengan sumpit berisi mie untuk menyuapinya. Ia terdiam memandangi pria itu.

“Gue bisa sendiri?” Tolak Emma.

Baji mengangguk, “Oke!” Ia melahap habis dengan sekali makan.

Emma menggeleng, tapi Baji kembali menyodorkannya sumpit kosong miliknya. “Level tiga, selebihnya level lima.” Tunjuk Baji pada bill makanan yang tergantung di depan kresek.

“Ngapain lo makan level gue!”

“Your name is not listed there, Em.” Baji menyeringai.

“Tapi kan lo bisa makan level 5.” Gadis itu menarik bungkusan mie yang sudah dimakan Baji.

“Suka-suka gue dong.” Baji menguap sembari menggoda Emma untuk mengambil porsi mie nya.

“Buset! UNBRAW? Serius pada ngambil univ ini semua ya?” Teriak Mitsuya saat berhasil menerobos ke depan layar laptop Kazutora.

Kazu segera memukul kepala Mitsuya yang tengah berada di depannya.

“Anjir! Pake gips? Sakit bego!!” Kesal Mitsuya mendapati Kazu memukulinya dengan tangan yang masih berbalut gips.

“Ngapain lo liat-liat?” Ujar Kazutora.

Mitsuya masih meringis akibat pukulan yang ia terima. “Ya pilih yang lain kek anjir. Lu sama Yuzuha kan top class nih, dapat rekomen juga. Sayangi saingan di bawahmu wahai kawanku..”

Mitsuya tersenyum canggung mengakhiri kalimatnya, ia tidak bermaksud menyuduti pilihan tiap orang. Pria bermanik ungu itu segera berdiri menuju dapur, menghampiri Hakkai yang tengah sibuk dengan minumannya.

Hinata menutup mulutnya, menahan tawa saat manik gadis itu menatap Yuzuha. “Malang, Ju? Kajut juga?” Ledek Hina yang kian berusaha menahan tawanya.

Yuzuha melempar penghampus pada gadis itu. Tampak usahanya sia-sia saat tawa Hinata pecah mendapatkan gips di tangan Kazutora mengendor.

“Tangan lu udah sembuh, Kajut?” Sorak Emma.

Yang ditanya terdiam membelalak memperhatikan tangan kanannya. Wajah pria itu memerah. Yuzuha memicingkan netranya, seakan meminta kejelasan pada pria itu.

Anjing! Gue ketahuan.

written by inupiei


Baji berjalan menjauhi area parkiran motor McDonald's sambil merapikan tatanan rambutnya. Pria itu memperbaiki lipatan lengan baju, sesekali melihat ke dalam gerai McD untuk mencari posis Chifuyu.

Chifuyu dan Senju menyadari kehadiran Baji yang muncul di pintu masuk. Yuzuha dan Emma tidak menyadarinya, karena dua gadis ini duduk membelakangi pintu masuk.

Pria dengan surai pekat itu berjalan mendekat, dengan langkah perlahan ia menghampiri meja Chifuyu, Senju, Yuzuha dan Emma yang berada paling sudut ruangan, terdengar kekehan dan celoteh ria menghiasi suasana meja mereka.

Entahlah, Baji tidak tau apa yang tengah mereka bahas.

Degup jantungnya kian berpacu, Baji berusaha mengatur nafasnya. Berharap kesempatan kali ini membuahkan hasil baginya ㅡ kesempatan untuk memperbaiki kesalahan terbesarnya.

Chifuyu dan Senju ikut tegang melihat usaha Baji yang bersusah payah melangkah ke meja mereka. Sesekali Chifuyu berdehem dan bertukar pandang dengan kekasihnya, berharap jika rencana mereka berjalan dengan baik.

“Hahaha ! Kata gue Emily ga harus ngeluarin itu alat dah, mana konslet kan!” Kekeh Yuzuha dibalas Emma dengan tawanya. Sepertinya mereka sedang asik membahas serial barat.

Baji menelan salivanya, berfikir bahwa hal ini tidak akan berjalan baik. Tapi tatapan tajam Chifuyu kian menghujaminya untuk segera bertindak cepat.

“Gue nambah saus dulu.” Tutur Emma meletakkan ponselnya, menggeser kursi dan bersiap untuk melangkah.

“Kenapa dah? Tegang banget?” Ujar Emma pada dua sejoli di depannya.

Senju tersenyum sumringah. Gadis itu menggaruk bagian kepalanya yang tidak gatal. Emma mengikuti arah pandangan Chifuyu, pria itu sengaja memberi Emma petunjuk.

Sesaat ekspresi gadis bersurai pirang itu berubah. Ia menangkap Baji tengah terdiam memandangnya ㅡ berusaha mempersempit jarak ㅡ tapi pria itu kian mematung dengan posisinya. Tidak melangkah maju, maupun berbalik arah.

Emma kembali menatap dua sejoli yang sedari tadi diam. “Seriously? Kalian manggil dia ke sini?” Ujar Emma jutek.

Yuzuha terperanjat mendapati keadaan yang tiba-tiba saja berbalik 180 derajat.

Senju kikuk, Chifuyu tertegun. Mereka tidak menyangka jika membantu Emma dan Baji berbaikan sesusah ini.

“Kalian mau gue semeja dengan dia? Orang brengsek kaya dia?” Spontan Emma menunjuk Baji dengan telunjuk kirinya.

“Emma ga gitu-”

Emma terkekeh saat Senju berusaha menenangkannya.

“Gue kira kalian mengerti. Tapi engga ya? Nyesel gue nangis-nangis cerita sama lo, Nju, Ju. He almost.. did something bad to me.”

Suara Emma serak, gadis itu segera mengemasi barang-barangnya. Tangannya kian bergetar. Yuzuha maupun Senju berdiri untuk menenangkannya, tapi Emma tak mengindahkan hal itu.

Gadis bersurai pirang itu segera melangkah pergi. Meninggalkan Baji yang diam tak berkutik di posisinya. Senju dan Yuzuha membiarkan punggung Emma keluar gerai McD dengan tergesa-gesa. Chifuyu hanya bisa menghembuskan nafas pasrah.

Pengunjung sempat terganggu akan gaduh yang mereka buat, tapi tidak begitu lama, mereka ㅡ pengunjung ㅡ kembali fokus pada urusannya.

Tanpa aba-aba, Baji segera melangkah pergi, mengejar langkah Emma yang belum terlalu jauh.

“Gitu dong anjing!” Umpat Chifuyu.


“Emma!”

“Ma!!”

Sorak Baji saat gadis bersurai pirang itu kian melebarkan langkahnya.

Baji tak mau kalah, dia mempercepat langkahnya ㅡ menyamai dengan gadis yang kini menjauh dari pandangannya.

“Hati-hati!!”

Sontak Baji menarik lengan Emma saat mobil sedan melintas dengan kecepatan tinggi di depan mereka.

Emma terkejut, fikirannya tertutupi untuk segera menjauhi laki-laki di hadapannya kini. Tapi siapa sangka? Mereka tengah berpelukan di tepi jalan yang diselimuti cahaya keorenan dari langit. Ia bisa merasakan deru nafas Baji kian meningkat, pria itu masih mengumpat mobil sedan yang berani menyelinap saat lampu merah belum berganti warna.

Aroma aqua yang menyengat dari milik pria itu membuat Emma tertegun lama. Aroma seorang Baji Keisuke yang begitu ia suka, aroma yang tiap pagi selalu ia hirup dalam-dalam selama perjalanan sekolah, aroma yang satu-satunya menjadi kesukaan Emma. Sekilas gambaran malam itu terekam kembali di fikiran Emma, mimpi buruk yang membuat tidurnya tidak tenang akhir-akhir ini.

Baji tersentak saat tangan gadis itu mendorongnya paksa, ia menatap manik Emma yang sedikit bergetar. Pria bersurai pekat itu segera mengambil jarak.

Emma mengatur nafasnya dan detak jantung yang kian berpacu tak henti. Sedetik kemudian pria di depannya menyodorkan beberapa cetakan fotokopi.

“Cetakan fotokopi tadi tertukar, ini formulir untuk cewek.” Ujar Baji melihatkan coretan tinta berceklis perempuan di sudut kanan.

Emma memfokuskan netranya, mencari kebenaran. Gadis itu segera merogoh tasnya, memeriksa helaian hvs dan menyodorkannya ke arah Baji.

Gadis itu tidak bersuara, ia segera menukarkan cetakan fotokopian mereka.

Emma bersiap melangkah pergi, tapi pria di depannya tiba-tiba saja berlutut, menundukkan kepala sebelum memulai kalimatnya.

“Maaf.”

Kalimat Baji terdengar lirih tapi Emma mendengarnya dengan baik.

“Maaf.”

Lagi, kalimat itu kembali terucapkan. Baji masih menunduk dalam posisinya. Emma hanya bisa diam, mematung mendapat perlakuan seperti ini.

“Gue mohon maaf, Emma. Lu bebas mau tendang atau maki-maki gue sekarang. Tapi, biarkan gue menerima maaf dari lo. Baji Keisuke benar-benar mohon maaf banget sama Emma Sano.”

Baji terdengar tulus. Begitulah batin Emma sesaat melihat sosok pria yang berlutut dan membiarkan orang dan kendaraan lalu lalang memperhatikan mereka.

Batinnya terenyuh. Mau bagaimanapun, Emma tidak bisa memendam rasa marah terlalu lama.

“Hei.” Tutur Emma.

Kepala Baji terangkat, atensinya menangkap Emma melipatkan tangan di depan dadanya. Pandangan gadis itu sedikit melunak.

“McFlurry gue cair.” Ia beranjak pergi meninggalkan Baji yang melongo mendapatkan responnya. Emma memutar langkahnya, gadis itu kembali memasuki gerai McD dan disambut senyum merekah oleh dua teman sebayanya.

Sudut bibir Baji tertarik, ia mulai berdiri dan membersihkan sisa-sisa pasir di sekitar lututnya. Dari luar ia melihat Emma sedang di peluk oleh Yuzuha dan Senju di dalam sana. Terlihat Kazutora mendekati meja mereka, kehadirannya di sambut Yuzuha dengan tatapan datar.

Baji terkekeh melihat pandangan di sana. Ia segera menyusul dan mendapati Chifuyu melempar tanda damai padanya dengan rengkulan yang tak lepas pada Senju, Kazutora yang meringis saat gips tangannya di tampar Yuzuha dan Emma menyodorkan bungkusan McFlurry nya yang sudah cair ㅡ meminta Baji untuk memesankan yang baru.

“Oh.. ini yang namanya triple date?” Gumam Baji menuju counter pemesanan, senyuman pria itu merekah. “Gue traktir lo semua.”

written by inupiei


Baji berjalan menjauhi area parkiran motor McDonald's sambil merapikan tatanan rambutnya. Pria itu memperbaiki lipatan lengan baju, sesekali melihat ke dalam gerai McD untuk mencari posis Chifuyu.

Chifuyu dan Senju menyadari kehadiran Baji yang muncul di pintu masuk. Yuzuha dan Emma tidak menyadarinya, karena dua gadis ini duduk membelakangi pintu masuk.

Pria dengan surai pekat itu berjalan mendekat, dengan langkah perlahan ia menghampiri meja Chifuyu, Senju, Yuzuha dan Emma yang berada paling sudut ruangan, terdengar kekehan dan celoteh ria menghiasi suasana meja mereka.

Entahlah, Baji tidak tau apa yang tengah mereka bahas.

Degup jantungnya kian berpacu, Baji berusaha mengatur nafasnya. Berharap kesempatan kali ini membuahkan hasil baginya ㅡ kesempatan untuk memperbaiki kesalahan terbesarnya.

Chifuyu dan Senju ikut tegang melihat usaha Baji yang bersusah payah melangkah ke meja mereka. Sesekali Chifuyu berdehem dan bertukar pandang dengan kekasihnya, berharap jika rencana mereka berjalan dengan baik.

“Hahaha ! Kata gue Emily ga harus ngeluarin itu alat dah, mana konslet kan!” Kekeh Yuzuha dibalas Emma dengan tawanya. Sepertinya mereka sedang asik membahas serial barat.

Baji menelan salivanya, berfikir bahwa hal ini tidak akan berjalan baik. Tapi tatapan tajam Chifuyu kian menghujaminya untuk segera bertindak cepat.

“Gue nambah saus dulu.” Tutur Emma meletakkan ponselnya, menggeser kursi dan bersiap untuk melangkah.

“Kenapa dah? Tegang banget?” Ujar Emma pada dua sejoli di depannya.

Senju tersenyum sumringah. Gadis itu menggaruk bagian kepalanya yang tidak gatal. Emma mengikuti arah pandangan Chifuyu, pria itu sengaja memberi Emma petunjuk.

Sesaat ekspresi gadis bersurai pirang itu berubah. Ia menangkap Baji tengah terdiam memandangnya ㅡ berusaha mempersempit jarak ㅡ tapi pria itu kian mematung dengan posisinya. Tidak melangkah maju, maupun berbalik arah.

Emma kembali menatap dua sejoli yang sedari tadi diam. “Seriously? Kalian manggil dia ke sini?” Ujar Emma jutek.

Yuzuha terperanjat mendapati keadaan yang tiba-tiba saja berbalik 180 derajat.

Senju kikuk, Chifuyu tertegun. Mereka tidak menyangka jika membantu Emma dan Baji berbaikan sesusah ini.

“Kalian mau gue semeja dengan dia? Orang brengsek kaya dia?” Spontan Emma menunjuk Baji dengan telunjuk kirinya.

“Emma ga gitu-”

Emma terkekeh saat Senju berusaha menenangkannya.

“Gue kira kalian mengerti. Tapi engga ya? Nyesel gue nangis-nangis cerita sama lo, Nju, Ju. He almost.. did something bad to me.”

Suara Emma serak, gadis itu segera mengemasi barang-barangnya. Tangannya kian bergetar. Yuzuha maupun Senju berdiri untuk menenangkannya, tapi Emma tak mengindahkan hal itu.

Gadis bersurai pirang itu segera melangkah pergi. Meninggalkan Baji yang diam tak berkutik di posisinya. Senju dan Yuzuha membiarkan punggung Emma keluar gerai McD dengan tergesa-gesa. Chifuyu hanya bisa menghembuskan nafas pasrah.

Pengunjung sempat terganggu akan gaduh yang mereka buat, tapi tidak begitu lama, mereka ㅡ pengunjung ㅡ kembali fokus pada urusannya.

Tanpa aba-aba, Baji segera melangkah pergi, mengejar langkah Emma yang belum terlalu jauh.

“Gitu dong anjing!” Umpat Chifuyu.

written by inupiei


“Anjir!” Umpat Baji saat berlari menuju pintu keluar kelas 12 IPS 3.

Seorang wanita bersurai hitam sebahu melempar beberapa kalimat kearahnya, “Mau gue tunggu?”

Baji sempat menoleh sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. “Duluan aja, Reze.”

Pria bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Pasalnya, kelas 12 IPS 3 tidak memberi istirahat 1 jam sebelum pelajaran sekolah sore dimulai. Tepat saat jam sekolah umum berakhir dengan pelajaran geografi, guru yang bersangkutan memilih melanjutkan pelajarannya karena daftar sekolah sore hari ini geografi. Jadi, kelas 12 IPS 3 lebih dahulu menyelesaikan sekolah sore dari kelas lain. Akibatnya, Baji terlambat mendatangi ruangan TU. Pria itu sudah di ingatkan wali kelasnya untuk datang ke ruangan TU sebelum jam 4, sedangkan saat ini jam ditangannya menunjukkan pukul 16.03.

“Semoga TU masih buka.” Celoteh Baji saat melintasi koridor. Ia menyadari murid kelas 12 IPS 1 bebas keluar-masuk kelas.

“Kaga ada guru itu apa?”

Ia kembali memperlebar langkah, berkali-kali Baji menepikan rambutnya hingga sesaat ia sadar, rambut gondrong miliknya sudah dicukur tim disiplin dengan meriah ㅡ insiden di Tugu Gempa. Baji sedikit bersedih, karena rambut itu ia rawat sejak tahun ke dua di SMANDER.

Langkah pria itu mulai lambat saat hampir mendekati ruangan TU. Baji memperbaiki tata rambutnya, menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Ia sampai di depan ruangan TU, tapi yang ia temukan ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda guru TU di dalam.

“Masa iya nunggu senin? Katanya senin udah ngisi portal?” Geram Baji saat ia tahu, hari ini hari kamis dan TU akan kembali buka di hari senin.

“Buka.”

Suara alto dari sosok gadis di sampingnya, membuat Baji tertegun. Tidak pernah ia sadari bahwa gadis yang biasanya memekik dan memenuhi gendang telinganya dengan suara sopran, sekarang berbicara dengan nada suara yang berbeda. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, gadis bersurai pirang ini masih pada suara khas miliknya yang Baji tau baik akan hal itu.

Tapi saat ini berbeda.

Sekalipun, ia tidak pernah membayangkannya ㅡ seorang Emma Sano dengan suara alto, terkesan jutek.

Baji menelan saliva, menatap Emma yang tengah bersandar di dinding ruang TU. Gadis itu mengikat hoodie biru dongker di sekitar pinggangnya ㅡ kebiasaan yang tidak pernah tinggal dan memegang beberapa lembar hvs.

Bagaimana bisa Baji tidak menyadari keberadaan gadis ini?

Emma menatap lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini berpenampilan sangat beda saat terakhir kali pertemuan mereka. Jujur saja, Emma cukup terkejut mendapati Baji yang sedang putus asa sembari mengumpati guru geografinya pun Emma cukup tertegun melihat surai gondrong khas Baji, sudah tidak ada. Membuat kesan baru disana dan tidak mengurangi ketampanan pria itu.

“Bu Winda nitip ini.” Ujar Emma melihatkan helaian hvs di genggamannya.

Baji berkedip, fokusnya yang terarah pada sang gadis, beralih pada helaian hvs. Ia mengangguk, mencoba meraih hvs itu. Tapi, Emma menariknya kembali, berjalan melintasi Baji dan mendahuluinya.

Pria itu mengernyitkan dahi, kenapa Emma malah pergi tanpa memberikannya helaian hvs itu?

Baji tak kunjung bersuara.

Langkah Emma terhenti, “Ke fotokopi, lembaran ini ga buat lo doang.” Gadis ini enggan memutar balik tubuhnya, sedetik kemudian ia melanjutkan langkahnya.

Baji berjalan mengiringi Emma dari belakang, tidak berani untuk bersuara dan tidak berani untuk mengambil langkah yang sama ㅡ seperti kebiasaan mereka dulu, selalu jalan bersebelahan.

Manik kecoklatan Baji menangkap hoodie yang mengalung di pinggang Emma. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum datar saat menyadari gambar naga tersablon rapi di hoodie itu.

Gue benaran udah tergantikan, ya?


“Total dua rangkap. Jadinya, 30 lembar. 15 ribu.” Ujar pemilik tempat fotokopi sembari memeberi klip pada hasil cetakannya.

Baji segera mengeluarkan uangnya, langkah pria terhenti saat Emma spontan memberi jarak dengannya saat ia mempersempit jarak ㅡ menydorkan uang.

Ada goresan kecil mengenai hatinya, Baji kian tertegun diam. Ia kembali memberi jarak dengan Emma setelah selesai membayar dan menyambar hasil cetakan fotokopi klip biru sambil menunggu Emma berjalan mendahuluinya.

Seperti memahami maksud Baji, Emma melangkah lebih dulu menuju sekolah. Gadis itu belum menyandang ranselnya ㅡ ia akan kembali ke kelas ㅡ berbeda dengan Baji yang sudah siap dengan keadaan untuk segera pulang.

Netra pria itu makin lekat memandang punggung yang berjarak satu meter di depannya. Sesekali ia menunduk, mencoba berfikir dengan isi kepala yang kian penuh akan kalimat minta maaf, tapi tidak kian terucapkan.

“Ma..” Gumam Baji.

Percuma, suara pria itu seperti hilang di bawa angin. Tidak akan terdengar oleh sang empu.

“Em-”

“Besok jumat jam 3 di ruang TU, pesan Bu Winda.” Tutur Emma memotong kalimat Baji.

Pria itu mengangguk, sejujurnya ia tidak mengerti akan formulir yang ia genggam ini. Apakah harus diisi? Atau sebaliknya?

“Emma, soal-”

Barusaja suara bariton milik Baji bergema, klakson motor tiga kali membuyarkan fokusnya. Ia menemukan Reze ㅡ menepi ke arah trotoar jalan yg ia pakai ㅡ mengendarai motor dan memakai helm yang tak asing baginya.

Baji merogoh saku dan tas salempang miliknya.

Sejak kapan kunci motornya ada di gadis bersurai sebahu itu?

“Hai Emma! Bajinya sama gue, ya?” Ujar Reze pada Emma yang sempat terdiam menghentikan langkahnya, tapi sesaat itu ia kembali melanjutkannya.

Gadis pirang itu segera menempelkan ponselnya di telinga, berceloteh ria. Yang bisa Baji dengar suara gadis itu kembali seperti seorang Emma Sano dengan suara soprannyaー tidak ada nada jutek yang terlontar seperti tadi ー suara yang tidak pernah lagi mengisi hari-harinya belakangan ini.

Dia rindu.

Langkah Emma terlalu besar untuk ia gapai, Baji menyadari akan hal itu dengan baik. Bahwa ia dan Emma, benar-benar sudah bukan mereka yang dulu lagi.

written by inupiei


“Anjir!” Umpat Baji saat berlari menuju pintu keluar kelas 12 IPS 3.

Seorang wanita bersurai hitam sebahu melempar beberapa kalimat kearahnya, “Mau gue tunggu?”

Baji sempat menoleh sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. “Duluan aja, Reze.”

Pria bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Pasalnya, kelas 12 IPS 3 tidak memberi istirahat 1 jam sebelum pelajaran sekolah sore dimulai. Tepat saat jam sekolah umum berakhir dengan pelajaran geografi, guru yang bersangkutan memilih melanjutkan pelajarannya karena daftar sekolah sore hari ini geografi. Jadi, kelas 12 IPS 3 lebih dahulu menyelesaikan sekolah sore dari kelas lain. Akibatnya, Baji terlambat mendatangi ruangan TU. Pria itu sudah di ingatkan wali kelasnya untuk datang ke ruangan TU sebelum jam 4, sedangkan saat ini jam ditangannya menunjukkan pukul 16.03.

“Semoga TU masih buka.” Celoteh Baji saat melintasi koridor. Ia menyadari murid kelas 12 IPS 1 bebas keluar-masuk kelas.

“Kaga ada guru itu apa?”

Ia kembali memperlebar langkah, berkali-kali Baji menepikan rambutnya hingga sesaat ia sadar, rambut gondrong miliknya sudah dicukur tim disiplin dengan meriah ㅡ insiden di Tugu Gempa. Baji sedikit bersedih, karena rambut itu ia rawat sejak tahun ke dua di SMANDER.

Langkah pria itu mulai lambat saat hampir mendekati ruangan TU. Baji memperbaiki tata rambutnya, menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Ia sampai di depan ruangan TU, tapi yang ia temukan ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda guru TU di dalam.

“Masa iya nunggu senin? Katanya senin udah ngisi portal?” Geram Baji saat ia tahu, hari ini hari kamis dan TU akan kembali buka di hari senin.

“Buka.”

Suara alto dari sosok gadis di sampingnya, membuat Baji tertegun. Tidak pernah ia sadari bahwa gadis yang biasanya memekik dan memenuhi gendang telinganya dengan suara sopran, sekarang berbicara dengan nada suara yang berbeda. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, gadis bersurai pirang ini masih pada suara khas miliknya yang Baji tau baik akan hal itu.

Tapi saat ini berbeda.

Sekalipun, ia tidak pernah membayangkannya ㅡ seorang Emma Sano dengan suara alto, terkesan jutek.

Baji menelan saliva, menatap Emma yang tengah bersandar di dinding ruang TU. Gadis itu mengikat hoodie biru dongker di sekitar pinggangnya ㅡ kebiasaan yang tidak pernah tinggal dan memegang beberapa lembar hvs.

Bagaimana bisa Baji tidak menyadari keberadaan gadis ini?

Emma menatap lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini berpenampilan sangat beda saat terakhir kali pertemuan mereka. Jujur saja, Emma cukup terkejut mendapati Baji yang sedang putus asa sembari mengumpati guru geografinya pun Emma cukup tertegun melihat surai gondrong khas Baji, sudah tidak ada. Membuat kesan baru disana dan tidak mengurangi ketampanan pria itu.

“Bu Winda nitip ini.” Ujar Emma melihatkan helaian hvs di genggamannya.

Baji berkedip, fokusnya yang terarah pada sang gadis, beralih pada helaian hvs. Ia mengangguk, mencoba meraih hvs itu. Tapi, Emma menariknya kembali, berjalan melintasi Baji dan mendahuluinya.

Pria itu mengernyitkan dahi, kenapa Emma malah pergi tanpa memberikannya helaian hvs itu?

Baji tak kunjung bersuara.

Langkah Emma terhenti, “Ke fotokopi, lembaran ini ga buat lo doang.” Gadis ini enggan memutar balik tubuhnya, sedetik kemudian ia melanjutkan langkahnya.

Baji berjalan mengiringi Emma dari belakang, tidak berani untuk bersuara dan tidak berani untuk mengambil langkah yang sama ㅡ seperti kebiasaan mereka dulu, selalu jalan bersebelahan.

Manik kecoklatan Baji menangkap hoodie yang mengalung di pinggang Emma. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum datar saat menyadari gambar naga tersablon rapi di hoodie itu.

Gue benaran udah tergantikan, ya?


“Total dua rangkap. Jadinya, 30 lembar. 15 ribu.” Ujar pemilik tempat fotokopi sembari memeberi klip pada hasil cetakannya.

Baji segera mengeluarkan uangnya, langkah pria terhenti saat Emma spontan memberi jarak dengannya saat ia mempersempit jarak ㅡ mengodorkan uang.

Ada goresan kecil mengenai hatinya, Baji kian tertegun diam. Ia kembali memberi jarak dengan Emma setelah selesai membayar dan menyambar hasil cetakan fotokopi klip biru sambil menunggu Emma berjalan mendahuluinya.

Seperti memahami maksud Baji, Emma melangkah lebih dulu menuju sekolah. Gadis itu belum menyandang ranselnya ㅡ ia akan kembali ke kelas ㅡ berbeda dengan Baji yang sudah siap dengan keadaan untuk segera pulang.

Netra pria itu makin lekat memandang punggung yang berjarak satu meter di depannya. Sesekali ia menunduk, mencoba berfikir dengan isi kepala yang kian penuh akan kalimat minta maaf, tapi tidak kian terucapkan.

“Ma..” Gumam Baji.

Percuma, suara pria itu seperti hilang di bawa angin. Tidak akan terdengar oleh sang empu.

written by inupiei


“Anjir!” Umpat Baji saat berlari menuju pintu keluar kelas 12 IPS 3.

Seorang wanita bersurai hitam sebahu melempar beberapa kalimat kearahnya, “Mau gue tunggu?”

Baji sempat menoleh sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. “Duluan aja, Reze.”

Pria bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Pasalnya, kelas 12 IPS 3 tidak memberi istirahat 1 jam sebelum pelajaran sekolah sore dimulai. Tepat saat jam sekolah umum berakhir dengan pelajaran geografi, guru yang bersangkutan memilih melanjutkan pelajarannya karena daftar sekolah sore hari ini geografi. Jadi, kelas 12 IPS 3 lebih dahulu menyelesaikan sekolah sore dari kelas lain. Akibatnya, Baji terlambat mendatangi ruangan TU. Pria itu sudah di ingatkan wali kelasnya untuk datang ke ruangan TU sebelum jam 4, sedangkan saat ini jam ditangannya menunjukkan pukul 16.03.

“Semoga TU masih buka.” Celoteh Baji saat melintasi koridor. Ia menyadari murid kelas 12 IPS 1 bebas keluar-masuk kelas.

“Kaga ada guru itu apa?”

Ia kembali memperlebar langkah, berkali-kali Baji menepikan rambutnya hingga sesaat ia sadar, rambut gondrong miliknya sudah dicukur tim disiplin dengan meriah ㅡ insiden di Tugu Gempa. Baji sedikit bersedih, karena rambut itu ia rawat sejak tahun ke dua di SMANDER.

Langkah pria itu mulai lambat saat hampir mendekati ruangan TU. Baji memperbaiki tata rambutnya, menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Ia sampai di depan ruangan TU, tapi yang ia temukan ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda guru TU di dalam.

“Masa iya nunggu senin? Katanya senin udah ngisi portal?” Geram Baji saat ia tahu, hari ini hari kamis dan TU akan kembali buka di hari senin.

“Buka.”

Suara alto dari sosok gadis di sampingnya, membuat Baji tertegun. Tidak pernah ia sadari bahwa gadis yang biasanya memekik dan memenuhi gendang telinganya dengan suara sopran, sekarang berbicara dengan nada suara yang berbeda. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, gadis bersurai pirang ini masih pada suara khas miliknya yang Baji tau baik akan hal itu.

Tapi saat ini berbeda.

Sekalipun, ia tidak pernah membayangkannya ㅡ seorang Emma Sano dengan suara alto, terkesan jutek.

Baji menelan saliva, menatap Emma yang tengah bersandar di dinding ruang TU. Gadis itu mengikat hoodie biru dongker di sekitar pinggangnya ㅡ kebiasaan yang tidak pernah tinggal dan memegang beberapa lembar hvs.

Bagaimana bisa Baji tidak menyadari keberadaan gadis ini?

Emma menatap lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini berpenampilan sangat beda saat terakhir kali pertemuan mereka. Jujur saja, Emma cukup terkejut mendapati Baji yang sedang putus asa sembari mengumpati guru geografinya pun Emma cukup tertegun melihat surai gondrong khas Baji, sudah tidak ada. Membuat kesan baru disana dan tidak mengurangi ketampanan pria itu.

“Bu Winda nitip ini.” Ujar Emma melihatkan helaian hvs di genggamannya.

Baji berkedip, fokusnya yang terarah pada sang gadis, beralih pada helaian hvs. Ia mengangguk, mencoba meraih hvs itu. Tapi, Emma menariknya kembali, berjalan melintasi Baji dan mendahuluinya.

Pria itu mengernyitkan dahi, kenapa Emma malah pergi tanpa memberikannya helaian hvs itu?

Baji tak kunjung bersuara.

Langkah Emma terhenti, “Ke fotokopi, lembaran ini ga buat lo doang.” Gadis ini enggan memutar balik tubuhnya, sedetik kemudian ia melanjutkan langkahnya.

Baji berjalan mengiringi Emma dari belakang, tidak berani untuk bersuara dan tidak berani untuk mengambil langkah yang sama ㅡ seperti kebiasaan mereka dulu, selalu jalan bersebelahan.

Manik kecoklatan Baji menangkap hoodie yang mengalung di pinggang Emma. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum datar saat menyadari gambar naga tersablon rapi di hoodie itu.

Gue benaran udah tergantikan, ya?


“Total dua rangkap. Jadinya, 30 lembar. 15 ribu.” Ujar pemilik tempat fotokopi sembari memeberi klip pada hasil cetakannya.

Baji segera mengeluarkan uangnya, langkah pria terhenti saat Emma spontan memberi jarak dengannya.

written by inupiei


“Anjir!” Umpat Baji saat berlari menuju pintu keluar kelas 12 IPS 3.

Seorang wanita bersurai hitam sebahu melempar beberapa kalimat kearahnya, “Mau gue tunggu?”

Baji sempat menoleh sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. “Duluan aja, Reze.”

Pria bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Pasalnya, kelas 12 IPS 3 tidak memberi istirahat 1 jam sebelum pelajaran sekolah sore dimulai. Tepat saat jam sekolah umum berakhir dengan pelajaran geografi, guru yang bersangkutan memilih melanjutkan pelajarannya karena daftar sekolah sore hari ini geografi. Jadi, kelas 12 IPS 3 lebih dahulu menyelesaikan sekolah sore dari kelas lain. Akibatnya, Baji terlambat mendatangi ruangan TU. Pria itu sudah di ingatkan wali kelasnya untuk datang ke ruangan TU sebelum jam 4, sedangkan saat ini jam ditangannya menunjukkan pukul 16.03.

“Semoga TU masih buka.” Celoteh Baji saat melintasi koridor. Ia menyadari murid kelas 12 IPS 1 bebas keluar-masuk kelas.

“Kaga ada guru itu apa?”

Ia kembali memperlebar langkah, berkali-kali Baji menepikan rambutnya hingga sesaat ia sadar, rambut gondrong miliknya sudah dicukur tim disiplin dengan meriah ㅡ insiden di Tugu Gempa. Baji sedikit bersedih, karena rambut itu ia rawat sejak tahun ke dua di SMANDER.

Langkah pria itu mulai lambat saat hampir mendekati ruangan TU. Baji memperbaiki tata rambutnya, menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Ia sampai di depan ruangan TU, tapi yang ia temukan ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda guru TU di dalam.

“Masa iya nunggu senin? Katanya senin udah ngisi portal?” Geram Baji saat ia tahu, hari ini hari kamis dan TU akan kembali buka di hari senin.

“Buka.”

Suara alto dari sosok gadis di sampingnya, membuat Baji tertegun. Tidak pernah ia sadari bahwa gadis yang biasanya memekik dan memenuhi gendang telinganya dengan suara sopran, sekarang berbicara dengan nada suara yang berbeda. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, gadis bersurai pirang ini masih pada suara khas miliknya yang Baji tau baik akan hal itu.

Tapi saat ini berbeda.

Sekalipun, ia tidak pernah membayangkannya ㅡ seorang Emma Sano dengan suara alto, terkesan jutek.

Baji menelan saliva, menatap Emma yang tengah bersandar di dinding ruang TU. Gadis itu mengikat hoodie biru dongker di sekitar pinggangnya ㅡ kebiasaan yang tidak pernah tinggal dan memegang beberapa lembar hvs.

Bagaimana bisa Baji tidak menyadari keberadaan gadis ini?

Emma menatap lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini berpenampilan sangat beda saat terakhir kali pertemuan mereka. Jujur saja, Emma cukup terkejut mendapati Baji yang sedang putus asa sembari mengumpati guru geografinya pun Emma cukup tertegun melihat surai gondrong khas Baji, sudah tidak ada. Membuat kesan baru disana dan tidak mengurangi ketampanan pria itu.

“Bu Winda nitip ini.” Ujar Emma melihatkan helaian hvs di genggamannya.

Baji berkedip, fokusnya yang terarah pada sang gadis, beralih pada helaian hvs. Ia mengangguk, mencoba meraih hvs itu. Tapi, Emma menariknya kembali, berjalan melintasi Baji dan mendahuluinya.

Pria itu mengernyitkan dahi, kenapa Emma malah pergi tanpa memberikannya helaian hvs itu?

Baji tak kunjung bersuara.

Langkah Emma terhenti, “Ke fotokopi, lembaran ini ga buat lo doang.” Gadis ini enggan memutar balik tubuhnya, sedetik kemudian ia melanjutkan langkahnya.

Baji berjalan mengiringi Emma dari belakang, tidak berani untuk bersuara dan tidak berani untuk mengambil langkah yang sama ㅡ seperti kebiasaan mereka dulu, selalu jalan bersebelahan.

Manik kecoklatan Baji menangkap hoodie yang mengalung di pinggang Emma. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum datar saat menyadari gambar naga tersablon rapi di hoodie itu.

Gue benaran udah tergantikan, ya?

written by inupiei


Yuzuha mendengus kesal sembari kakinya memasuki area kantin. Kantin yang berlokasikan di sayap kiri sekolah ini tidak memiliki ruang yang terlalu besar; 3 x 4 m, hanya ruangan bekas gudang yang tidak terpakai oleh sekolah ㅡ tapi sering dijadikan siswa untuk mampir mengisi perut sebagai alasan ke toilet. Kantin ini lebih tepatnya terletak di antara koridor IPA dan koridor IPS.

“Eh!” Ujar Yuzuha spontan saat menemui lelaki berambut pirang tengah diam duduk menikmati risolesnya.

Lelaki itu sama terkejutnya, ia segera melahap risoles dan membersihkan sisa makanan di tangannya. “Juha? Tumben?”

Yuzuha terkekeh, gadis itu mengambil dadar gulung dan duduk di sebelah lelaki itu, Chifuyu. “Lapar.” Ujarnya.

Chifuyu mengangguk, laki-laki itu kembali mengambil gorengan. “Juara kelas bisa bolos juga, ya?” Ledek pria itu yang tengah menggigit tahu isi.

Yuzuha tertawa, “Kalau gak gitu, bosen dong hidup gue.”

Mereka berdua tertawa. Chifuyu kembali mengambil gorengan, Yuzuha hanya bingung menatap pria di depannya ini. Sepertinya Chifuyu yang sangat kelaparan.

“Ada kabar dari Kajut, Puy?” Tanya Yuzuha saat pria itu meneguk beberapa air mineral.

Chifuyu menggeleng, “Gue sengaja keluar kelas, jalan dari IPS 4 ke IPS 3 dan IPS 1 hingga sampai ke sini. Kajut ga ada di kelas, Baji ada tadi. Cuma dia ga nangkap maksud gue buat minta keluar kelas, chat aja ga direspon sejak semalam.”

“Emma gimana?” Tanya Chifuyu saat ia sadar bahwa tidak menemui gadis bersurai pirang itu saat melintasi kelas IPS 1.

Yuzuha memberi jeda, gadis itu menelan makanannya. “Semalam pas lo turunin gue sama Senju di rumah Emma, kita ga bicara banyak. Dia di kamar pas itu, ga mau liat ke arah gue dan Senju. Dan ternyata Mikey nguping di luar kamar Emma, pas Mikey keluar rumah udah kaya kesetanan, Draken dateng. Dan gue taunya dari Draken kalau Mikey ngedobrak rumah Baji, tapi ga ada jawaban.”

Chifuyu mengangguk, ia masih menunggu Yuzuha menyelesaikan kalimatnya.

“Emma sampai berlutut depan Mikey buat pulang ke rumah dan minta ga ngasih tau abangnya yang lain.” Yuzuha berjalan ke arah mesin pendingin, mengambil minuman bertulisan teh pucuk di sana.

Chifuyu mendengus, “Mikey pulang setelah itu?” Pria itu ikut menghampiri mesin pendingin, mengambil yakult di dalam sana.

Yuzuha menggeleng, “Mikey pulang pas Ibu Baji yang buka pintu.”

“Anjir..” Gumam Chifuyu.

“Gue ga tau Ibu Baji ngomong apa, tapi saat itu Emma langsung di peluk beliau dan mereka kembali ke rumah.”

Chifuyu mengangguk. Mereka berdua sempat larut dalam fikiran masing-masing. Hingga bel istirahat pertama dan pengumuman dari sound speaker berbunyi secara bersamaan ㅡ membuat lamunan mereka berdua pecah.

“Baji Keisuke, Ken Ryuuguji dan Manjiro Sano. Harap segera menuju ruangan BK.”

Suara pengumuman itu berakhir disambut oleh murid-murid yang baru saja mengerumuni kantin saling berdesas-desus. Yuzuha dan Chifuyu segera bergegas meninggalkan kantin, langkah mereka tertuju ke satu ruangan; Ruangan Kepala Sekolah.

“Berarti Kajut udah selesai.”

Ujar Yuzuha diiringi anggukan Chifuyu.


Koridor di sekitar ruangan guru cukup dipenuhi lalu lalang murid menuju kantin umum. Tampak semua siswa keluar kelas bergerombolan, mengingat istirahat jam pertama hanya 30 menit.

“Tuh!” Tunjuk Yuzuha saat netranya menangkap lelaki berbalut ban lengan merah maroon di lengan kanannya, menandakan ia organisasi tertinggi di sekolah. Tidak hanya Kazutora. Mikey, Draken, Akkun, Kisaki dan Naoto sebagai jajaran ketua memakai ban lengan selama di sekolah ㅡ hanyasaja warna yang mereka miliki berbeda-beda. MPK memakai warna maroon dan OSIS memakai warna biru tua.

“Serius amat tu tampang.” Ujar Chifuyu mengikuti arah tunjuk Yuzuha.

Kazutora membungkuk sesaat sebelum ia benar-benar melangkah meninggalkan ruangan kepala sekolah. Terlukis wajah ketegangan di sana, pria itu sesekali mengusap pelan wajahnya hingga ekspresi itu berubah saat manik keemasan milik Kazutora menangkap Yuzuha dan Chifuyu di koridor.

Kazutora berjalan ke arah mereka sambil tersenyum. Yuzuha tau, ada yang tidak beres.

“Gimana?” Ujar Chifuyu saat lelaki berbalut ban tangan itu sampai di hadapannya.

Kazutora mengangguk, “Aman. Sanksinya diberi keringanan.”

Yuzuha dan Chifuyu menghela nafas lega.

Netra tiga orang itu langsung menangkap Baji yang tengah memasuki ruangan BK dan selanjutnya Mikey dan Draken yang masih tetap utuh memakai ban lengan mereka.

“Mereka akan dihukum Pak Arif sebagai guru BK. Sekolah maupun polisi ga mau ikut campur karena perbuatan mereka di luar wewenang, Polisi mau nerima denda doang dan sekolah maunya memberi skors ㅡ jadinya Pak Arif ambil wewenang.” Kazutora menempel ke arah Yuzuha, lelaki itu sedang mengisi tenaganya kembali.

“Denda berapa?” Tanya Chifuyu.

“Polisi minta 2.5 juta.”

“Buset. Enak banget pagi-pagi malakin anak sekolah.” Chifuyu melempar tatapan tidak sukanya saat mobil polisi keluar dari pekarangan sekolah.

“Kantin yuk?” Tawar Kazutora.

Chifuyu mengangguk, “Ga nunggu Baji?”

“Udah mau keluar tuh.” Ujar Kazutora menangkap 3 orang itu dari kaca jendela yang tidak ditutupi tirai ㅡ pembuat masalah pagi ini ㅡ tengah membungkuk dan segera meninggalkan ruangan.

“Gue panggil Senju dulu, duluan aja.”

Chifuyu segera meninggalkan dua sejoli dan berlari ke kelas sang kekasih.

Atmosfir tiba-tiba tenang, Yuzuha maupun Kazutora tidak ada yang membuka mulut. Lelaki itu masih dalam posisi menempel di samping Yuzuha sembari maniknya menatap kosong ruangan BK.

“Aman?” Tanya Yuzuha membuyarkan fokus Kazutora.

Lelaki itu menghembuskan nafas kasar dan memperbaiki posisinya.

“Malam Sarumpun terancam dibatalkan.”

Mata yang sedari tadi kosong sekarang terlihat sayu.

“Jika kita dari penanggungjawab inti kembali membuat masalah dengan menyinggung reputasi sekolah dan bahkan sampai meresahkan masyarakat, usaha kita sia-sia 6 bulan ini, Zu. Malam Sarumpun benaran akan dihapuskan.”

Yuzuha meneguk salivanya dalam-dalam. Gadis itu tahu hal semacam ini akan terjadi. Pasalnya, Malam Sarumpun untuk angkatannya ini hanya 30% dari pihak guru yang menyetujui dan jika keputusan Kepala Sekolah seperti ini terjadi, sudah tidak membuatnya bertanya-tanya.

“Berkali-kali Bu Mayang, tim disiplin sekolah nyudutin gue tentang Malam Sarumpun.” Kazutora mengusap gusar wajahnya, pria ini tampak tertekan dengan apa yang barusaja ia lontarkan.

Gadis berkepang satu itu mengusap pelan surai sang pria di depannya yang tengah tertegun diam.

“Simpel. Kita jadi anak baik-baik aja 3 bulan kedepan.”

Kalimat gadis itu sukses membuat Kazutora tersenyum tenang, bersamaan dengan keluarnya 3 pembuat onar dan Chifuyu dengan Senju dari kejauhan menuju ke arah mereka.

Kazutora mengibaskan tangan ke arah Baji dan yang lainnya. Pria bersurai pekat itu segera memperpendek jarak, Mikey dan Draken membalas lambaian tanggannya sembari bergumam terimakasih.

Dua pasang sejoli dan Baji menuju kantin, hanyut dalam topik perbincangan yang diciptakan Senju. Gadis bersurai sebahu itu benar-benar pandai mengubah suasana.