Ruang TU
written by inupiei
“Anjir!” Umpat Baji saat berlari menuju pintu keluar kelas 12 IPS 3.
Seorang wanita bersurai hitam sebahu melempar beberapa kalimat kearahnya, “Mau gue tunggu?”
Baji sempat menoleh sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. “Duluan aja, Reze.”
Pria bersurai gelap itu mempercepat langkahnya. Pasalnya, kelas 12 IPS 3 tidak memberi istirahat 1 jam sebelum pelajaran sekolah sore dimulai. Tepat saat jam sekolah umum berakhir dengan pelajaran geografi, guru yang bersangkutan memilih melanjutkan pelajarannya karena daftar sekolah sore hari ini geografi. Jadi, kelas 12 IPS 3 lebih dahulu menyelesaikan sekolah sore dari kelas lain. Akibatnya, Baji terlambat mendatangi ruangan TU. Pria itu sudah di ingatkan wali kelasnya untuk datang ke ruangan TU sebelum jam 4, sedangkan saat ini jam ditangannya menunjukkan pukul 16.03.
“Semoga TU masih buka.” Celoteh Baji saat melintasi koridor. Ia menyadari murid kelas 12 IPS 1 bebas keluar-masuk kelas.
“Kaga ada guru itu apa?”
Ia kembali memperlebar langkah, berkali-kali Baji menepikan rambutnya hingga sesaat ia sadar, rambut gondrong miliknya sudah dicukur tim disiplin dengan meriah ㅡ insiden di Tugu Gempa. Baji sedikit bersedih, karena rambut itu ia rawat sejak tahun ke dua di SMANDER.
Langkah pria itu mulai lambat saat hampir mendekati ruangan TU. Baji memperbaiki tata rambutnya, menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Ia sampai di depan ruangan TU, tapi yang ia temukan ruangan itu tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda guru TU di dalam.
“Masa iya nunggu senin? Katanya senin udah ngisi portal?” Geram Baji saat ia tahu, hari ini hari kamis dan TU akan kembali buka di hari senin.
“Buka.”
Suara alto dari sosok gadis di sampingnya, membuat Baji tertegun. Tidak pernah ia sadari bahwa gadis yang biasanya memekik dan memenuhi gendang telinganya dengan suara sopran, sekarang berbicara dengan nada suara yang berbeda. Bahkan saat pertemuan terakhir mereka, gadis bersurai pirang ini masih pada suara khas miliknya yang Baji tau baik akan hal itu.
Tapi saat ini berbeda.
Sekalipun, ia tidak pernah membayangkannya ㅡ seorang Emma Sano dengan suara alto, terkesan jutek.
Baji menelan saliva, menatap Emma yang tengah bersandar di dinding ruang TU. Gadis itu mengikat hoodie biru dongker di sekitar pinggangnya ㅡ kebiasaan yang tidak pernah tinggal dan memegang beberapa lembar hvs.
Bagaimana bisa Baji tidak menyadari keberadaan gadis ini?
Emma menatap lurus ke depan, enggan melihat lelaki yang kini berpenampilan sangat beda saat terakhir kali pertemuan mereka. Jujur saja, Emma cukup terkejut mendapati Baji yang sedang putus asa sembari mengumpati guru geografinya pun Emma cukup tertegun melihat surai gondrong khas Baji, sudah tidak ada. Membuat kesan baru disana dan tidak mengurangi ketampanan pria itu.
“Bu Winda nitip ini.” Ujar Emma melihatkan helaian hvs di genggamannya.
Baji berkedip, fokusnya yang terarah pada sang gadis, beralih pada helaian hvs. Ia mengangguk, mencoba meraih hvs itu. Tapi, Emma menariknya kembali, berjalan melintasi Baji dan mendahuluinya.
Pria itu mengernyitkan dahi, kenapa Emma malah pergi tanpa memberikannya helaian hvs itu?
Baji tak kunjung bersuara.
Langkah Emma terhenti, “Ke fotokopi, lembaran ini ga buat lo doang.” Gadis ini enggan memutar balik tubuhnya, sedetik kemudian ia melanjutkan langkahnya.
Baji berjalan mengiringi Emma dari belakang, tidak berani untuk bersuara dan tidak berani untuk mengambil langkah yang sama ㅡ seperti kebiasaan mereka dulu, selalu jalan bersebelahan.
Manik kecoklatan Baji menangkap hoodie yang mengalung di pinggang Emma. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum datar saat menyadari gambar naga tersablon rapi di hoodie itu.
Gue benaran udah tergantikan, ya?
“Total dua rangkap. Jadinya, 30 lembar. 15 ribu.” Ujar pemilik tempat fotokopi sembari memeberi klip pada hasil cetakannya.
Baji segera mengeluarkan uangnya, langkah pria terhenti saat Emma spontan memberi jarak dengannya saat ia mempersempit jarak ㅡ mengodorkan uang.
Ada goresan kecil mengenai hatinya, Baji kian tertegun diam. Ia kembali memberi jarak dengan Emma setelah selesai membayar dan menyambar hasil cetakan fotokopi klip biru sambil menunggu Emma berjalan mendahuluinya.
Seperti memahami maksud Baji, Emma melangkah lebih dulu menuju sekolah. Gadis itu belum menyandang ranselnya ㅡ ia akan kembali ke kelas ㅡ berbeda dengan Baji yang sudah siap dengan keadaan untuk segera pulang.
Netra pria itu makin lekat memandang punggung yang berjarak satu meter di depannya. Sesekali ia menunduk, mencoba berfikir dengan isi kepala yang kian penuh akan kalimat minta maaf, tapi tidak kian terucapkan.
“Ma..” Gumam Baji.
Percuma, suara pria itu seperti hilang di bawa angin. Tidak akan terdengar oleh sang empu.